Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Pada Rabu 01 September 2021, Jaksa Agung Republik Indonesia Dr. Burhanuddin, membuka Acara Rapat Kerja Teknis Bidang Tindak Pidana Umum Tahun 2021 secara virtual dari ruang kerja Jaksa Agung di Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kebayoran Baru Jakarta yang akan berlangsung selama 2 (dua) hari mulai Rabu 01 September 2021 s/d Kamis 02 September 2021.
Hadir secara virtual dalam acara ini yaitu Wakil Jaksa Agung RI Setia Untung Arimuladi, SH. M.Hum., Para Jaksa Agung Muda, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Ketua Komisi Kejaksaan RI, Para Pejabat Eselon II dan Eselon III pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, beserta Para Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia beserta jajarannya, dari ruang kerja atau dari kantor masing-masing.
Mengawali arahannya, Jaksa Agung RI menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada seluruh jajaran atas terselenggaranya Rakernis ini, serta atas keseriusan dan dedikasinya yang telah konsisten menjalankan tugas-tugas dengan tetap penuh semangat di tengah pandemi Covid-19, seraya juga tidak henti-hentinya mengingatkan kepada seluruh jajaran, agar dalam menjalankan tugas dan jabatan tetap mengutamakan kesehatan dengan menjalankan protokol kesehatan secara disiplin dan ketat.
Galakkan terus program vaksinasi nasional dan budayakan penggunaan masker untuk Indonesia Sehat. Vaksinansi telah terbukti mampu menekan tingkat resiko kematian, oleh karena itu pastikan orang-orang disekitar kita telah divaksinasi. Serta terus gunakan dan budayakan penggunaan masker karena mengingat kondisi saat ini, kita tidak akan lepas dari masker dalam jangka waktu pendek. Vaksinasi dan masker akan membuat kita dan lingkungan di sekitar kita lebih aman dan terlindungi dalam bekerja dan berkarya. Hal ini penting untuk disampaikan karena Indonesia sedang mendorong dan mempercepat status pandemi menjadi epidemi, sehingga dengan kesadaran kita bersama, kita semua bisa keluar dari status pandemi ini.
Jaksa Agung RI menyampaikan Forum Rakernis yang berlangsung dalam waktu relatif singkat ini merupakan wadah strategis untuk menghasilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif, yang dapat secara aplikatif memecahkan setiap problematika yang dihadapi di Bidang Tindak Pidana Umum.
Rakernis Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2021 ini mengangkat tema “Berkarya untuk Indonesia Tangguh dengan Mengedepankan Hati Nurani.”
Tema yang relevan dalam menjawab tantangan dan situasi dalam mengubah cara pandang kita sebagai aparat penegak hukum jika saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributi (pembalasan) menjadi keadilan restoratif.
Perlu saudara ingat, 2 (dua) dari dari 7 (tujuh) Perintah Harian Jaksa Agung Tahun 2021 yang telah saya sampaikan pada waktu peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-61 yaitu “Gunakan Hati Nurani dalam Setiap Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan”, serta perintah untuk “Jaga Marwah Institusi dengan Bekerja Secara Cerdas, Integritas, Profesional, dan Berhati Nurani”. Hati Nurani haruslah menjadi dasar pertimbangan setiap pegawai Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan serta dalam mengambil keputusan. Dan hal ini menjadi atensi khusus saya.
Saudara tentunya sudah mengetahui kasus tersebut, dimana terkesan aparat penegak hukum telah tega menghukum masyarakat kecil dan orang tua renta atas kesalahannya yang dipandang tidak terlalu berat.
Untuk mewujudkan keadilan hukum yang hakiki dan untuk lebih memanusiakan manusia di hadapan hukum, maka penerapan Hukum Berdasarkan Hati Nurani adalah sebuah kebutuhan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai bentuk kristalisasi penerapan hukum berdasarkan Hati Nurani.
Kita adalah “man of law”. Pejabat yang paham dan mengerti bagaimana hukum itu diterapkan. Saya yakin jika kita telah cermat dalam membaca kelengkapan formil dan materiil serta konsisten menggunakan Hati Nurani sebagai dasar pertimbangan dalam setiap proses penuntutan, Kejaksaan akan mampu menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak.
Berdasarkan laporan yang diterima oleh Jaksa Agung RI, hasil evaluasi sejak diberlakukannya keadilan restoratif tanggal 22 Juli 2020 sampai dengan tanggal 1 Juni 2021, terdapat sebanyak 268 (dua ratus enam puluh delapan) perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif. Adapun tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah tindak pidana penganiayaan, pencurian, dan lalu lintas. Data ini seharusnya membuat kita tersentak karena ternyata selama ini banyak pencari keadilan dan banyak perkara-perkara seperti Nenek Minah dan Kakek Samirin yang tidak diekpos oleh media yang telah mendapat perlakuan hukum yang tidak pantas dan tidak seyogianya diteruskan ke pengadilan.
Mengingat tugas membawa perkara di pengadilan adalah kita selaku pemilik asas dominus litis. Artinya kita adalah pengendali perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu bentuk diskresi penuntutan oleh penuntut umum. Diskresi penuntutan akan melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan tujuan hukum yang hendak dicapai. Ingat, tugas kita sebagai penegak hukum adalah untuk memberikan perlindungan hukum dan menghadirkan kemanfaatan hukum kepada masyarakat.
“Saya minta kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum agar laporan penanganan perkara keadilan restoratif ini dilakukan secara berkala setiap bulan dan disampaikan kepada masyarakat atas capaian kinerja kita ini dengan bekerja sama dengan Pusat Penerangan Hukum. Saya ingin Kejaksaan di kenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan Hati Nurani dan penegak keadilan restoratif. Kejaksaan harus mampu menegakan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat,” ujar Jaksa Agung RI.
Jaksa Agung RI menekankan untuk mengedepankan hati nurani karena saya tidak membutuhkan Jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral dan saya juga tidak butuh Jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan adalah para Jaksa yang pintar dan berintegritas. Saya tidak menghendaki para Jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam Hati Nurani. Sumber dari hukum adalah moral. Dan di dalam moral ada Hati Nurani. Jangan sekali-kali menggadaikan Hati Nurani karena itu adalah anugerah termurni yang dimiliki manusia dan itu adalah cerminan dari sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Pembahasan isu aktual yang perlu dicermati selain penerapan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif adalah penerapan Pedoman Nomor 11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika. Pedoman ini memiliki hubungan erat dengan Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum. Saya minta para Jaksa untuk mencermati Pedoman Narkotika, sehingga tidak menyimpangi asas single prosecution system.
Di samping itu, untuk kebutuhan internal kita, menurut hemat saya perlu adanya digitalisasi untuk setiap regulasi, surat edaran, atau petunjuk teknis penanganan perkara pidum guna mempermudah penyebarluasan informasi produk-produk hukum dan kebijakan terbaru ke seluruh Indonesia.
Jaksa Agung RI menyampaikan Permasalahan lainnya yang juga patut mendapat perhatian kita bersama adalah berkenaan dengan penyelesaian pelaksanaan putusan pengadilan yang telah “inkracht” secara tuntas. Dalam hal ini tidak hanya penyelesaian pidana pokok, tetapi juga meliputi penyelesaian pidana tambahan maupun eksekusi barang bukti, karena mengabaikan pelaksanaan dan penyelesaiannya pada akhirnya hanya akan memperbanyak tunggakan perkara, yang berimplikasi pada tidak adanya kepastian hukum atas putusan pengadilan. Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan dari kita untuk mewujudkan asas litis finiri oportet, bahwa setiap perkara harus ada akhirnya, dalam rangka menjamin hadirnya kepastian hukum dan mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Isu aktual lainnya adalah pelaksaan sidang online. Perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana sidang online ini dapat dipertahankan sebagai instrumen proses penyelesaian perkara di pengadilan. Apakah sidang online ke depan hanya diberlakukan dalam keadaan darurat seperti saat ini atau sidang online dapat menggantikan sidang konvensional secara permanen atau sidang online tetap diberlakukan berjalan berdampingan dengan sidang konvensional sebagai pilihan proses penyelesaian perkara di pengadilan. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar