Menyikapi hasil kajian terkait potensi tsunami dampak gempa megathrust di selatan Jawa yang berdampak hingga Jakarta, pada dasarnya BMKG selalu mengapresiasi setiap hasil riset potensi bencana dengan skenario terburuk untuk tujuan membangun kesiapsiagaan masyarakat.
Riset semacam itu diperlukan sebagai acuan langkah mitigasi tsunami, jadi perlu dibuat model yang paling pahit agar kita lebih siap dan tangguh, meskipun kapan terjadinya tidak ada yang tahu dan bisa jadi jika terjadi belum tentu mencapai skenario terburuknya.
Untuk itu kepada masyarakat dihimbau agar tidak panik, karena kajian ini dibuat bukan untuk membuat masyarakat resah, tetapi untuk menyiapkan strategi mitigasi yang tepat dan efektif guna mengurangi risiko bencana yang mungkin terjadi.
*Tsunami Batavia 1883*
Sebelum membahas pemodelan tsunami akibat gempa megathrust yang berdampak hingga Jakarta, kiranya perlu kita mengetahui sejarah tsunami yang pernah melanda pantai Jakarta akibat erupsi katastropik Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 27 Agustus 1883.
Erupsi katastropik ini menyebabkan runtuhnya badan Gunung Krakatau ke laut serta terjadinya kontak material erupsi yang panas dengan air laut sehingga memicu tsunami lebih dari 30 meter. Dahsyatnya tsunami mampu menimbulkan kerusakan di Pulau Onrust yang merupakan bagian gugus pulau di Kepulauan Seribu. Sejak tahun 1848 Pulau Onrust dan sekitarnya difungsikan pemerintah Kolonial Belanda sebagai Pangkalan Angkatan Laut, namun sarana ini rusak berat diterjang tsunami tahun 1883.
Selain menerjang Pulau Onrust, tsunami saat itu juga menerjang Pantai Batavia. Gambaran Pantai Batavia dan Tanjung Priok yang dilanda tsunami sangat jelas dilaporkan Bataviaasch Handelsblad yang terbit pada 28 Agustus 1883.
Tsunami dilaporkan membanjiri daratan dan menghempaskan perahu-perahu di pantai. Suasana sangat kacau di perkampungan Cina yang umumnya terletak di pinggir sungai, ketika air mendadak naik setelah tengah hari.
Di daerah Pintu Kecil dimana banyak orang Eropa tinggal dengan rumah membelakangi sungai, terus dilanda luapan air laut sehingga harus menaikkan barang-barang mereka ke perahu untuk mengungsi.
Di daerah Kali Besar, air bercampur lumpur berwarna hitam juga naik mendadak ke permukaan, menyebarkan bau asin yang tidak enak. Tak lama kemudian sekitar pukul 2 siang, air kembali mengalir deras dengan kekuatan yang luar biasa membuat Pasar Ikan kebanjiran untuk kedua kalinya.
Tsunami juga menimbulkan kekacauan di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal uap Wilhelmina yang sedang menurunkan muatan dihantam terjangan tsunami hingga harus melepaskan jangkar. Sebuah kapal uap yang ditarik tongkang dari Merak menuju Priok juga diterjang tsunami hingga keduanya hilang tenggelam. Tsunami juga merusak beberapa jembatan dekat muara sungai di Batavia.
Fakta mengenai tsunami Batavia 1883 ini menjadi dasar pemikiran bahwa jika terjadi tsunami dahsyat di Selat Sunda maka dapat berdampak hingga pantai Jakarta.
*Pemodelan Tsunami*
Tsunami di Selat Sunda dapat dipicu oleh erupsi gunungapi dan gempa tektonik yang bersumber di zona megathrust. Berdasarkan catatan sejarah, tsunami akibat erupsi Gunung Krakatau pada 1883 mampu menjangkau Pantai Jakarta karena tinggi tsunami di sumbernya lebih dari 30 meter, sedangkan tsunami akibat runtuhnya lereng Gunung Anak Krakatau pada 2018 lalu lebih kecil sehingga tidak sampai di Pantai Jakarta.
Untuk mengetahui apakah tsunami akibat gempa megathrust Selat Sunda dapat mencapai Jakarta, maka diperlukan pemodelan tsunami. Pemodelan tsunami akibat gempa magnitudo 8,7 yang bersumber di zona megathrust Selat Sunda yang dilakukan BMKG menujukkan bahwa tsunami dapat sampai di Pantai Jakarta.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tsunami sampai di Pantai Jakarta dalam waktu sekitar 3 jam setelah gempa, dengan tinggi 0,5 meter di Kapuk Muara - Kamal Muara dan 0,6 meter di Ancol - Tanjung Priok.
Pemodelan tsunami diukur dari muka air laut rata-rata (mean sea level). Dalam kasus terburuk, jika tsunami terjadi saat pasang, maka tinggi tsunami dapat bertambah. Selain itu, ketinggian tsunami juga dapat bertambah jika pesisir Jakarta sudah mengalami penurunan permukaan (subsiden).
Pemodelan tsunami memang memiliki ketidakpastian (uncertainty) yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena persamaan pemodelan sangat sensitif dengan data dan sumber pembangkit gempa yang digunakan. Beda data yang digunakan maka akan beda hasilnya, bahkan jika sumber tsunaminya digeser sedikit saja, maka hasilnya juga akan berbeda. Inilah sebabnya maka selalu ada perbedaan hasil di antara pembuat model tsunami.
Dalam mendukung upaya mitigasi konkret, BMKG menyusun peta bahaya tsunami di seluruh pantai rawan tsunami di Indonesia. Untuk Pulau Jawa, peta bahaya tsunami yang sudah dibuat sebanyak 41 peta, dengan rincian: 5 peta di Banten, 5 peta di Jawa Barat, 17 peta di Jawa Tengah, 3 peta di Yogyakarta, dan 11 peta di Jawa Timur. Pembuatan peta bahaya tsunami ini masih terus berjalan untuk wilayah lain di Indonesia.
Peta bahaya tsunami memberi informasi tinggi tsunami, jauhnya landaan, dan waktu tiba tsunami di pantai. Peta ini juga bermanfaat untuk perencanaan tata ruang pantai yang aman tsunami, acuan membuat jalur evakuasi, menentukan lokasi titik kumpul, lokasi tempat evakuasi sementara, serta acuan dalam berlatih evakuasi (tsunami drill). Atas dasar beberapa hal tersebut maka BMKG membuat skenario model terburuk untuk acuan mitigasi tsunami bagi pemerintah daerah, masyarakat, dan relawan kebencanaan. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar