Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia dan Institut Leimena menggelar webinar bertajuk "Membangun saling memahami dan menghormati antar umat Muslim, Kristen, dan Yahudi sebagai sebuah keluarga Abrahamik melalui pendidikan pada Senin (18/01)
Webinar ini membahas (1) Pendidikan yang membangun saling memahami dan menghormati antara umat Muslim, Kristen, dan Yahudi sebagai sebuah keluarga Abrahamik dapat ikut menguatkan moderasi dan toleransi beragama secara umum; (2)Yang harus dibahas dalam pendidikan semacam itu di sekolah dan universitas dalam dari perspektif Muslim, Kristen, dan Yahudi; dan (3) Pengalaman atau contoh pendidikan demikian yang dapat dibagikan, di mana Muslim, Kristen, dan Yahudi belajar untuk menghargai persamaan dan perbedaan.
Secara kolektif disebut sebagai agama-agama Abrahamik karena kesamaan leluhur mereka dalam patriark Abraham atau Ibrahim, jumlah penganut gabungan Islam, Kristen, dan Yahudi melampaui separuh penduduk dunia dan kian bertambah. Ironisnya, meski memiliki kesamaan nenek moyang, sepanjang sejarah mereka sering mengalami ketegangan atau bahkan konflik.
Koeksistensi dan kolaborasi yang damai antara Muslim, Yahudi, dan Kristen telah membawa banyak kemajuan dalam peradaban. Sebaliknya, ketegangan dan konflik di antara mereka seringkali menyebabkan stagnasi peradaban, bahkan kemunduran. Dengan menguatnya identitas agama, maka potensi konflik semakin meningkat.
Disisi lain, Bagaimana mereka belajar menghargai persamaan dan perbedaan akan menolong mereka menghargai dan menyikapi keberagaman dalam masyarakat yang lebih luas. Pendidikan semacam ini menjadi semakin penting saat ini di mana Islamofobia, antisemitisme, dan berbagai bentuk kebencian agama menjadi marak.
Menteri Agama Republik Indonesia, H. Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya mengatakan, saya sebagai seorang muslim diajarkan untuk selalu melihat sesama makhluk Tuhan dengan pandangan kasih sayang dan terus memanusiakan manusia. Ini ajaran terpenting dan selalu menjadi ukuran sekaligus titik tolak kami dalam bertindak, bersikap, dan mengambil segala keputusan.
Webinar kali ini merupakan rangkaian dialog antar agama-agama Abrahamik sejak tahun 2020 yang lalu. Pada dialog tersebut telah disepakati bahwa "Tugas utama kita adalah mencari titik-titik temu sebagai keluarga besar agama-agama Abrahamik untuk dapat bekerja sama demi perdamaian dan kemajuan peradaban manusia," kata Menteri Agama saat zoom meeting. Senin (18/01)
Setelah tiga kali webinar agama-agama Abrahamik, lanjutnya, seharusnya bagi kita sudah jelas, dari perspektif agama maupun historis, ketiga agama Abrahamik ini hadir untuk membawa rahmat bagi seluruh makhluk. Tantangannya tentu saja bagaimana mengembangkan sikap saling memahami dan mengatasi berbagai kesalahpahaman di antara umat ketiga agama besar ini.
Hari ini pada seri ke-4 Webinar, sambungnya, ada baiknya kita ajukan pertanyaan untuk diri kita sendiri, bagaimana kita akan mewariskan upaya-upaya mencari titik temu yang menjadi tugas bersama kita ini kepada generasi baru penganut agama-agama Abrahamik yang tumbuh di era digital? Ini pertanyaan sekaligus pekerjaan yang menurut saya tidak mudah.
Selanjutnya juga disampaikan, Visi mencari titik temu di antara umat ketiga agama Abrahamik ini harus diiringi langkah-langkah konkret untuk mencapainya, terutama melalui jalur pendidikan. Gagasan merawat kehidupan yang damai dan rukun harus terus diajarkan pada unit-unit pendidikan kita, sejak unit terkecil di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, hingga di sekolah-sekolah dan kampus-kampus.
Sementara itu, Tema Webinar kali ini juga berkait dengan visi Kementerian Agama Republik Indonesia yang sekarang ini saya pimpin.
Pertama, adalah kita harus mengembalikan fungsi agama kepada khittahnya, yaitu agama sebagai sumber inspirasi, sebagai sumber kasih sayang, sebagai sumber kebaikan dan perdamaian.
Agama tidak lagi boleh menjadi sumber atau norma konflik dari perbedaan-perbedaan yang ada. Agama harus dijauhkan untuk dipergunakan sebagai senjata politik untuk meraih kekuasaan dan kepentingan lainnya, karena itu hanya akan menjauhkan esensi agama dari tujuan yang sebenarnya.
Agama selalu bertujuan untuk memperbaiki peradaban, memperbaiki keimanan, memperbaiki akhlak; sebagaimana di agama saya, agama Islam, mengajarkan itu. Islam diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia, yang artinya pada gilirannya nanti akhlak yang tersempurnakan ini akan menjadi atau membuat peraddaban kita menjadi jauh lebih baik.
Kedua, pentingnya kita mengembangkan trilogi persaudaraan, yaitu merawat persaudaraan sesama pemeluk suatu agama, memelihara persaudaraan sesama warga bangsa dan memupuk persaudaraan sesama umat manusia.
Seperti yang saya sampaikan tadi di banyak negara, konflik yang didasarkan atau disandarkan pada agama terjadi pada tiga ranah ini: konflik di antara sesama pemeluk agama tertentu, konflik di antara pemeluk agama yang berbeda di suatu negara, dan konflik di antara pemeluk agama yang sama atau berbeda lintas negara.
Di sini, menurut saya penting bagi kita untuk mengembangkan trilogi persaudaraan di atas yang mengingatkan kita kembali kepada pesan sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Ali bin Abi Tholib. Beliau mengatakan bahwa “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.
Ketiga, kita harus berkomitmen memajukan dunia pendidikan kita dengan mengembangkan wawasan keagamaan yang wasyatiyah, toleran dan kontekstual.
Kontekstualisasi ajaran agama ini saya tekankan karena jujur saja harus kita akui ada doktrin dan penafsiran keagamaan di dalam agama-agama Abrahamik—yang dianut sebagian pemeluknya—yang mengajarkan kecurigaan dan permusuhan kepada pemeluk agama lain.
Ini saya kira masing-masing kita para pemeluk agama Abrahamik ini untuk secara jujur mengakui. Jika kita tidak jujur, maka persoalan-persoalan yang selama ini mengganggu atau merusak peradaban umat manusia yang sebenarnya bisa kita cita-citakan menjadi baik tapi hancur, luluh lantak, karena sikap yang salah dalam memahami agama ini bisa kita hindari.
Kontekstualisasi ajaran agama ini sekali lagi penting di dalam dunia di mana umat manusia seharusnya bersatu menghadapi problem-problem baru kemanusiaan, kontekstualisasi ajaran agama untuk masa depan harmoni peradaban ini patut dan harus diwujudkan.
"Terakhir, Ini menjadi kata kunci dan menurut saya ini tidak bisa kita hindarkan jika kita menginginkan peradaban dan kehidupan yang lebih baik," pungkasnya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar