Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Pada 2018 lalu, tragedi bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak pelaku di Surabaya diduga kuat melakukan _homeschooling_. Peristiwa ini semakin menambah daftar panjang infiltrasi paham radikalisme di dunia pendidikan.
Survei PPIM UIN Jakarta 2017 dan 2018 mengkonfirmasi bahwa siswa, mahasiswa dan guru terpapar paham intoleran dan terdapat paham radikal di kalangan kelompok studi agama di sekolah (Wahid Institute, 2016; Maarif Institute, 2018), selain pengaruh melalui buku teks dan populer (PPIM, 2017; Puspidep, 2017; PSBPS, 2019).
Penelitian tentang _homeschooling_ dalam konteks radikalisme dilakukan karena layanan pendidikan apapun model dan bentuknya merupakan lahan strategis dalam penyemaian nilai-nilai ideologi atau keagamaan, baik moderat, konservatif maupun radikal.
Beririsan dengan hal tersebut, strategi pembelajaran _homeschooling_ yang bersifat fleksibel, berkombinasi dengan adanya gap dalam regulasi, menjadi “tanah lapang” yang cukup rentan bagi berlangsungnya proses transmisi nilai-nilai keagamaan yang intoleran bahkan radikal. Dalam konteks demokrasi dan kewargaan, homeschooling memiliki potensi menciptakan “spiral pengucilan diri” (spiral encapsulations) yang semakin menjauhkan anak-anak dari nilai-nilai umum (common values), Di sisi lain, keberadaan homeschooling atau mereka yang menggunakan label "homeschooling" semakin marak dalam beberapa tahun terakhir ini.
Untuk itu, PPIM UIN Jakarta menggelar Launching Hasil Penelitian PPIM 2019, “Radikalisme dan Homeschooling: Menakar Ketahanan dan Kerentanan” pada Kamis, 28 November 2019 di Hotel Sari Pacific, Jakarta.
Dr. Subi Sudarto selaku Kepala Seksi Pendidikan Kesetaraan Kemdilkbud menyampaikan, Pada Homeschooling (selanjutnya disebut HS) "berbasis non-agama", dan "Islamic-based salafi-inklusif", baik HS Majemuk maupun HS Komunitas, terdapat ketahanan diri peluang para ideolog keagamaan radikal dan mengalami "spiral pengucilan diri" (spiral of encapsulations) karena memiliki saluran bagi siswa untuk bersosialisasi dengan komunitasnya. Sebagian malah mendorong siswanya memiliki engagement dengan kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan komunitasnya.
"Akan tetapi, untuk HS Tunggal, apalagi yang tidak mendaftarkan diri kepada Dinas Pendidikan, dengan demikian artinya juga tidak menyerahkan dokumen pembelajaran yang dirancang untuk anaknya, memiliki kerentanan pada tingkat yang paling awal, untuk terpapar
ideologi-keagamaan bersifat radikal," ujar Subi saat Launching Hasil Penelitian PPIM 2019 di Sari Pan Pacifik Hotel Jakarta. Kamis (28/11)
ideologi-keagamaan bersifat radikal," ujar Subi saat Launching Hasil Penelitian PPIM 2019 di Sari Pan Pacifik Hotel Jakarta. Kamis (28/11)
Pada HS "Islamic-based salafi-eksklusif", lanjutnya, kerentanan bagi siswa untuk mengalami "spiral pengucilan diri" lebih besar karena saluran untuk memiliki engangement dengan komunitas rendah. Kerentanan itu akan bertambah besar jika parameter yang dipergunakan penelitian ini tidak ditemukan, yaitu tidak mengajarkan pendidikan Agama, pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan pendidikan bahasa Indonesia (Pasal 7, ayat 2); Tidak melakukan upacara bendera Merah-Putih; Tidak mengenalkan pahlawan nasional; Tidak mengajarkan lagu-lagu nasional; dan Tidak mengenalkan simbol-simbol negara (bendera, foto presiden dan wakil presiden, lambang garuda, pahlawan nasional).
Selain itu, kata Subi, HS agar memperkuat aspek ketahanan dan mengurangi aspek kerentanan dengan semakin nmembuka diri terhadap perbedaan, dan mendorong siswa dengan aktivitas yang melibatkan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, jenis apapun HS yang berkembang, tidak akan mendorong siswa mengalami "spiral pengucilan diri.
Sedangkan untuk pemerintah, kata Subi, beberapa catatan berikut agar menjadi perhatian:
1) Membuat Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan sebagai turunan dari Permendikbud 129/2014.
2) Perbaikan mekanisme pendaftaran HS tunggal dan majemuk dengan menggunakan one-single online submission oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota sehingga pihak pemerintah memiliki database.
3) Harus ada bagian pada Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten yang bertugas khusus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh HS Komunitas (termasuk perijinan, kurikulum, pendidik, sarana prasarana, dan lingkungan).
4) Perlunya penjaminan mutu pelaksanaan UNPK.
5) Mewajibkan siswa-siswa HS bersosialisasi, bergaul serta berinteraksi dengan kelompok dari pelbagai latar belakang untuk menyemaikan nilai toleransi dan kebangsaan.
2) Perbaikan mekanisme pendaftaran HS tunggal dan majemuk dengan menggunakan one-single online submission oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota sehingga pihak pemerintah memiliki database.
3) Harus ada bagian pada Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten yang bertugas khusus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh HS Komunitas (termasuk perijinan, kurikulum, pendidik, sarana prasarana, dan lingkungan).
4) Perlunya penjaminan mutu pelaksanaan UNPK.
5) Mewajibkan siswa-siswa HS bersosialisasi, bergaul serta berinteraksi dengan kelompok dari pelbagai latar belakang untuk menyemaikan nilai toleransi dan kebangsaan.
Turut hadir dalam acara ini, para
Pembicara: Dr. Subi Sudarto selaku Kepala Seksi Pendidikan Kesetaraan Kemdilkbud, Fuad Fachruddin, Ph.D selaku Pengamat Pendidikan dan Rita Pranawati, M.A. selaku Komisioner KPAI serta para undangan. (Arianto)
Pembicara: Dr. Subi Sudarto selaku Kepala Seksi Pendidikan Kesetaraan Kemdilkbud, Fuad Fachruddin, Ph.D selaku Pengamat Pendidikan dan Rita Pranawati, M.A. selaku Komisioner KPAI serta para undangan. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar