Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Salah satu tantangan pemerintahan baru Republik Indonesia hasil Pemilu dan Pilpres 2019 adalah merawat kemajemukan dan memperkuat negara Pancasila. Kemajemukan merupakan esensi paling elementer Pancasila yang belakangan mengalami tantangan serius, terutama ketika identitas yang majemuk disikapi secara antagonistik. Salah satu identitas—meski bukan satu-satunya—yang paling rentan dalam arena kemajemukan adalah agama/keyakinan, yang ditunjukkan dengan tingginya angka pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB).
Kita semua tidak ingin, kondisi menguatnya intoleransi dan radikalisme menjadi alat penundukkan dan justifikasi tindakan politik pemerintah membatasi kebebasan sipil warga. Kita mesti beri obat penawar, penanganan intoleransi dan radikalisme dalam kerangka demokrasi dan hak asasi manusia.
Halili selaku Direktur Riset SETARA Institute dalam paparannya mengatakan bahwa SETARA Institute mengajukan rekomendasi sebagai berikut:
- Pertama, pemerintah harus merancang, mengagendakan dan melakukan optimalisasi institusi pendidikan untuk membangun pendidikan yang bhinneka, terbuka dan toleran, serta berorientasi pada penguatan bangsa dan negara berbasis Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Kedua, pemerintah harus memposisikan aparatnya, khusus kepolisian dan pemerintah lokal (dari provinsi hingga desa/kelurahan) sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, perlindungan seluruh warga, dan pembelaan dasar dan konstitusi negara.
- Ketiga, negara harus menjamin penegakan hukum yang tegas dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
- Keempat, mengoptimalisasi fungsi edukasi, sosialisasi, dan literasi mengenai toleransi dan kerukunan serta pencegahan diskriminasi dan intoleransi melalui optimalisasi televisi, media sosial, dan media daring sebagai arena dan ruang diskursus. Kelima, memperkuat dan mengintensifkan inisiatif dan pelaksanaan dialog yang setara antar kelompok agama/keyakinan.
"SETARA Institute mendorong Pemerintah untuk lebih serius memberikan jaminan paripurna bagi kebebasan beragama/berkeyakinan serta menghapus diskriminasi dan intoleransi sebagai legacy pemerintahan ini," ujar Halili dalam Seminar "Merawat Kemajemukan, Memperkuat Negara Pancasila" di Hotel Ashley Jakarta. Senin (11/11)
Selain itu, kata Halili, SETARA Institute mendorong pemerintahan baru hasil Pilpres 2019 untuk mengagendakan pengarusutamaan keberagaman atau kebinekaan dalam seluruh aspek tata kelola pemerintahan negara melalui pelembagaan pemerintahan inklusif (inclusive governance).
"Presiden diharapkan dapat mengeluarkan regulasi presidensiil yang menginstruksikan agar seluruh kementerian dan lembaga mengimplementasikan kebinekaan yang menghimpun keanekaan latar belakang di berbagai aspek, termasuk kebinekaan agama. Hanya dengan pengarusutamaan pemerintahan inklusif lah, cita Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana menjadi sasanti Pancasila dapat diwujudkan secara sistemik," tandasnya.
Turut hadir Keynote Speaker: H. Bambang Soesatyo, S.E., M.B.A. selaku Ketua MPR RI serta para Pembicara: Romo Benny Susetyo dari BPIP, M. Choirul Anam dari Komnas HAM, Khariroh Ali dari Komnas Perempuan, Bonar Tigor Naipospos dari SETARA Institute, Halili selaku Direktur Riset SETARA Institute dengan Moderator: Lady Malino selaku Anchor CNN Indonesia. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar