Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Menjelang masa akhir jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019, wakil rakyat telah berhasil menuntaskan revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kemudian telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo demi memperkuat fungsi pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM).
Setelah sekitar 17 tahun UU KPK disahkan, berbagai kalangan menilai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh KPK sering kali mengabaikan hak asasi manusia baik dengan menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa melaui proses dan beragam bukti yang mendukung, sehingga penetapan status hukum menjadi terkatung-katung dalam waktu yang lama, hingga tindakan penyadapan seringkali menyangkut hal pribadi yang melibatkan keluarga dan relasi yang tidak terlibat dalam kasus korupsi.
Nasir Djamil, Anggota DPR-RI dari Fraksi PKS menuturkan, revisi UU KPK ini sebenarnya sudah berkali-kali ingin dilakukan oleh DPR, serta sudah mengundang beberapa tenaga ahli yang berkompeten sehingga UU ini sebenarnya tidak dikeluarkan terburu-buru dengan agenda tertentu. Namun setiap kali pembahasan revisi ingin dilakukan, selalu mengundang protes karena dinilai melemahkan KPK.
Stigma ini sering kali dimunculkan untuk membangun narasi yang tidak ilmiah. Nasir menyarankan kedepan perlu adanya kriteria terhadap panitia seleksi dan juga calon anggota komisioner KPK, sehingga tidak ada kecurigaan bila anggota pansel maupun calon komisioner mewakili orang/partai tertentu, jadi semuanya menjadi lebih transparan dan lebih dipercaya public.
‘’Kita adalah negara hukum yang demokratis, sehingga bila ada pandangan yang tidak sejalan, silahkan melalui judivial review,’’ papar Nasir. ‘’Kita tidak tergesa-gesa untuk mengesahkannya UU ini, kita masih punya waktu untuk mendengarkan masukan masyarakat demi KPK yang lebih baik, tambahnya.
Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita, melalui UU KPK yang baru ini, upaya pemberantasan korupsi memperhatikan hak asasi manusia dengan adanya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), bila tidak ditemukan bukti-bukti pendukung yang kuat, serta kehadiran Dewan Pengawas (Dewas) untuk memberi ijin dilakukannya penyadapan kepada seseorang yang terindikasi melakukan kasus korupsi.
‘’Pemerintah tidak perlu ragu untuk menandatangani revisi UU ini karena UU yang baru lebih baik daripada yang lama, revisi ini sebenarnya lebih maksimal daripada KPK dibubarkan,’’ kata Romli saat diskusi Sikap Pemerintah Terhadap Revisi UU KPK yang dihadiri oleh pengamat politik, perwakilan partai, praktisi hukum dan media yang digelar di Hotel Mandarin-Jakarta. Jumat (4/10).
Dalam UU KPK yang baru, kata Romli, tidak ada satupun tugas KPK yang dikurangi, malah tugas KPK menjadi bertambah dengan adanya fungsi pertimbangan HAM. KPK juga tidak perlu khawatir dengan hadirnya dewan pengawas, karena semua badan/lembaga di Indonesia termasuk Presiden juga diawasi, yang paling penting diperhatikan adalah aturan main dewas yang akan berlaku.
Menurut Romli, bila fungsi dewas tidak maksimal, KPK perlu dibubarkan daripada menghabiskan anggaran negara tanpa memberi hasil maksimal atas pengembalian aset negara dari kasus korupsi serta upaya pencegahan korupsi di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Luhut Pangaribuan juga memandang revisi UU ini memiliki politik hukum yang lebih baik dibanding UU lama yang banyak bertentangan/melanggar HAM. Protes yang diberikan oleh masyarakat tidak perlu dengan melakukan demonstrasi ataupun kericuhan karena ada 3 proses yang bisa ditempuh yakni mekanisme judicial review ke mahkamah konstitusi (MK), legislatif review atau menerbitkan Perpu.
‘’Dengan melihat kondisi yang berkembang saat ini, bila ada pihak-pihak yang tidak menerima revisi UU ini, lakukan saja judicial review, pemerintah tidak perlu menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres),’’ ujar Luhut.
"Menerbitkan Perpres itu adalah kemunduran karena artinya kita kembali ke UU yang lama yang membuka potensi penyalahgunaan jabatan," tandas Luhut. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar