Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Dalam realitanya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang telah berusia lebih dari setengah abad tidak mampu mengakomodir perkembangan masyarakat dan dinamika pembangunan nasional. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi telah merubah cara hidup masyarakat, dan pembangunan nasional menuntut laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, industrialisasi dan mega investasi di berbagai sektor. Sementara itu berbagai regulasi yang bersumber pada UU ini tidak sinkron bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Karena itu kebutuhan akan adanya RUU Pertanahan memiliki urgensi yang tinggi untuk memberikan solusi bagi perkembangan masyarakat, mendukung pembangunan nasional yang semakin dinamis, dan lebih memberikan kepastian hukum, serta untuk menjembatani ketidaksinkronan dengan peraturan perundang-undangan sumber daya alam yang terkait dengan bidang pertanahan.
Andi Mariattang, S.Sos, Anggota Panja RUU Pertanahan DPR RI mengungkapkan, RUU Pertanahan harus tetap berpegang teguh pada jiwa dan semangat pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan secara tegas:" Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Selain itu, memperhatikan TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam konsiderannya menyebutkan bahwa; pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfataannya serta menimbulkan berbagai konflik; pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik; dan dibutuhkan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dalam pembahasan RUU Pertanahan ini masih banyak pihak baik dari akademisi, kata Andi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), profesi, pengusaha dan seterusnya. yang meminta agar pembahasannya dilakukan lebih mendalam dan komprehensif, karena masih ada beberapa ketentuan yang dianggap masih belum sesuai dengan jiwa dan semangat UU No. 5/1960 tentang UUPA.
Menurut Andi, Dalam pengamatan kami masih ada beberapa substansi yang diperdebatkan dan memerlukan pembahasan lebih mendalam berkenaan dengan:
a. Ketentuan Pasal 12 yang mengatur tentang batas maksimum penguasaan dan pemilikan Tanah oleh orang, baik orang perorangan, badan hukum maupun gabungan beberapa badan hukum yang berada dalam satu pengendalian, baik Tanah pertanian maupun Tanah non-pertanian. Perlu ada tambahan ketentuan yang mengatur formula yang lebih detil dalam menentukan pengecualian batas maksimum penguasaan dan pemilikan Tanah dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepentingan nasional. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 UU No.5/1960 bahwa Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Karena ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan (3) belum memberikan gambaran yang jelas.
b. Ketentuan Pasal 25 yang memberikan HGU secara keseluruhan jangka waktu bagi perorangan 70 tahun dan badan hukum 90 tahun tidak sesuai dengan Pasal 29 UU No5/1960 yang menetapkan jangka waktu bagi perorangan 50 tahun dan badan hukum 60 tahun. Ketentuan Pasal 29 yang memberikan HGB secara keseluruhan jangka waktu 70 tahun tidak sesuai dengan Pasal 35 UU No 5/1960 yang menetapkan jangka waktu 50 tahun. Putusan MK No. 21, 22/PUU-V/2007 menyatakan bahwa Pasal 22 UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal bertentangan dengan konstitusi berkenaan dengan ketentuan HGU diberikan selama 95 tahun dan HGB selama 80 tahun dimana salah satu pertimbangannya MK mengacu UUPA No. 5/1960 yang mengatur tentang HGU dan HGB.
c. Ketentuan Pasal 37 memberikan Hak Milik Satuan Rumah Susun (Sarusun) bagi warga negara asing (WNA). Bahwa Hak Milik atas Tanah hanya diberikan kepada WNI, Hak Milik Sarusun walaupun bersifat perorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama tetapi tanah tidak bisa dipisahkan dari ruang yang berada di atasnya. Karenanya memberikan Hak Milik Sarusun kepada WNA dinilai kontradiktif karena bertentang dengan prinsip dasar Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
"Memberikan apresiasi dengan akan dibangunnya single land administration system, pendaftaran tanah akan lebih komprehensif, karena meliputi kawasan dan wilayah terpadu. Artinya objek pendaftaran tanah juga mencakup kawasan hutan, pesisir, pulau-pulau kecil, waduk, pertambangan, cagar alam, situs purbakala, kawasan lindung dan konservasi serta wilayah strategis pertahanan. Dengan demikian akan tercipta peta standar sama yang terintegrasi dalam satu sistem informasi pertanahan secara digital, yang akan memberikan kemudahan dalam pembuatan kebijakan, pelaku usaha, masyarakat dan pemangku kepentingan dalam pemanfaatan dan pengunaan tanah secara optimal. Dalam implementasinya harus dilakukan secara serius dengan berkoordinasi dengan kementerian teknis lainnya dan berbagai pemangku kepentingan sehingga tercipta peta pertanahan digital yang komprehensif dan akurat," ujar Andi saat Seminar Pro Kontra RUU Pertanahan bertempat di Ruang Rapat Fraksi PPP Gedung Nusantara I Lantai 15 Komplek DPR/MPR RI Senayan, Jakarta. Kamis (12/9)
"Pembahasan atas RUU Pertanahan sudah dilakukan secara sungguh-sungguh dan mendalam sebagai ikhtiar bersama untuk membentuk regulasi pertanahan yang komprehensif dan solutif terhadap permasalahan tanah saat ini dan di masa depan. Walaupun disadari masih ada beberapa ketentuan yang memerlukan pendalaman lebih jauh sehingga RUU ini akan sesuai dengan harapan masyarakat dan bangsa Indonesia," tutup Andi. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar