Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Memasuki sidang putusan perkara PT MPFI yang akan digelar pada rabu pekan depan, terdakwa TY berharap majelis hakim membebaskannya dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. TY yang didakwa melanggar Pasal 372 KUHP tentang tindak pidana penggelapan, pada sidang sebelumnya di PN Jakarta Pusat, kamis lalu, menegaskan dalam nota pembelaannya bahwa dirinya tidak bersalah.
Di hadapan hakim ketua Saifuddin Zuhri beserta hakim anggota lainnya, TY membacakan nota pembelaannya yang diberi judul : Merdeka Itu Adalah Bebas Dari Kriminalisasi.
Dalam pembelaannya TY berulangkali menyoal berbagai kejanggalan proses penanganan kasus yang dituduhkan kepadanya mulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan hingga ke tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
TY menegaskkan, sejak awal saksi pelapor Naoki Wada terbukti tidak memiliki legal standing untuk bertindak sebagai kuasa korban karena sudah mengundurkan diri dari perusahaan PT MPFI yang dillaporkannya sebagai korban penggelapan.
"Bahkan pihak pemilik PT. MPFI (korban) pernah mendatangi penyidik untuk mencabut laporan dengan alasan tidak merasa menjadi korban penggelapan, namun anehnya tidak digubris oleh penyidik," ungkap TY.
TY juga membeberkan adanya beberapa saksi fiktif yang dihadirkan pelapor Naoki Wada saat penyidikan, dan pelimpahan berkas P21 terlalu dipaksakan karena tidak disertai barang bukti asli, serta adanya dugaan manipulasi surat dakwaan karena muncul dalam 4 versi.
Dalam pembelaannya, TY juga menyimpulkan kekeliruan JPU yang tetap menyeret kasus ini ke ranah pidana, padaha ini murni urusan perdata antar perusahaan yang dipedomani UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, pada Pasal 1 ayat 5.
TY menguraikkan, dalam hal ini terdapat perjanjian distributor eksklusif dan surat penunjukan distributor antara PT. MPFI dengan PT. RTI dan antara PT. MPFI dengan PT. RPrima, serta surat perjanjian kesepakatan antara PT. MPFI dengan PT. RPRIMA Tanggal 04 Februari 2015 yang mana apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban, maka hal tersebut adalah suatu peristiwa wanprestasi, yang menjadi kewenangan peradilan perdata (kompetensi absolute). Terlebih lagi, lanjut TY, ada perjanjian distributor eksklusif antara PT. MPFI dengan PT. RPrima, Pasal 6 Ayat 2 berbunyi: "Dalam hal kegagalan pengiriman, barang rusak, cacat atau kegagalan mematuhi kewajiban, maka pihak distributor berhak untuk membatalkan sebagian / semua pesanan atas biaya produsen. Dan distributor dibebaskan dari kewajibannya kepada produsen."
Selain itu, TY menilai penyidik dan JPU tidak cermat dalam memperhatikan dan menilai fakta yang terungkap pada persidangan, di mana saksi Naoki Wada, saksi Ariza, saksi Diana Ciputra yang menerangkan bahwa konsumen selalu melakukan pembayaran kepada PT. Resaltar Prima bukan kepada PT. MPFI. Dan bahwa dalam laporan keuangan PT. MPFI yang diberikan oleh saksi Hetika kepada penyidik sebagaimana dilampirkan pada daftar barang bukti jaksa No. 27 (satu bendel audit tahunan PT. MPFI yang dikeluarkan Kantor Akuntan Publik Osman Bing Satrio (Deloitte) Tanggal 31 Desember 2016) pada halaman 17, yaitu pada bagian hutang perusahaan, di situ justeru terbukti dengan jelas tidak tercantum nama terdakwa.
“Sehingga dakwaan JPU seharusnya batal demi hukum karena korban (PT. MPFI) sendiri tidak berpendapat/mengaku bahwa terdakwa memiliki hutang terhadap korban," tandasnya.
Berdasarkan fakta – fakta hukum yang dikemukakan, TY mengatakan, jelas dan terang JPU tidak dapat membuktikan dakwaannya berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah serta telah salah dan keliru dengan memaksakan dan melakukan tindakan kriminalisasi perkara perdata menjadi tindak pidana penggelapan, bahkan rekayasa dan manipulasi surat dakwaan serta fakta – fakta persidangan dalam surat tuntutan (penghilangan seluruh keterangan saksi meringankan, dan penambahan saksi fiktif) sudah termasuk pada tindakan Contempt of Court atau penghinaan pada peradilan. “Sehingga cukup dasar bagi majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk dapat menyatakan dakwaan terhadap terdakwa tidak dapat diterima (niet ontvankelijke bewijskracht) atau menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan,” kata TY.
Diketahui kasus TY ini bermula dari hubungan bisnis yang sudah dijalankan sejak tahun 2012 antara perusahaan TY dan saksi pelapor Naoki Wada yang bergerak di bidang furnitur. TY sendiri sudah menjalani persidangan sebanyak 19 kali sejak Rabu 13 Maret 2019.
Sementara itu, JPU M. Januar Ferdian yang coba dimintai keterangannya usai sidang pembacaan pledoi TY di PN Jakarta Pusat berusaha menghindar dari kejaran wartawan. Sama halnya, saksi Naoki Wada dan saksi Diana Ciputra juga tidak mau memberikan tanggapannya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar