Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Pencemaran udara Jakarta yang akhir-akhir ini sedemikian parah dengan status TIDAK SEHAT, sering menempati posisi teratas sebagai kota yang paling tercemar di dunia. Kondisi ini meningkat dibanding 2018 yang rata-rata tahunannya adalah 45.62 ug/m3. Sementara itu, Sepeda Motor sumber utama pencemaran udara Jakarta yang mencapai 44.53% disusul oleh Bus (21.43%), Truk (17.70%), dan Mobil Pribadi (16.11%). Sementara itu, emisi rumah kaca (GRK) berupa CO2 sumber utamanya berasal dari Bus dan Truk yang masing-masing 47.72% dan 33.26%.
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB mengatakan, Usaha pengendalian pencemaran udara Jakarta juga terganjal oleh kebijakan pemerintah antara lain regulasi tentang spesifikasi BBM yang dikeluarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Dirjen MIGAS. Spesifikasi BBM memperbolehkan produsen BBM memasarkan BBM dengan kualitas yang lebih rendah dari kebutuhan teknologi kendaraan bermotor (engine technology requirement), sehingga berpotensi merusak mesin, selain menyebabkan tingginya emisi gas buang kendaraan bermotor. Untuk itu, saatnya Presiden memerintahkan Menteri ESDM untuk merevisi regulasi terkait Spesifikasi BBM demi peningkatan kualitas udara.
"Hendaknya ini bisa dijadikan momentum untuk menghapus berbagai jenis BBM yang sesungguhnya sudah tidak dibutuhkan lagi, yaitu Premium 88, Pertalite 90, Solar 48 dan Dexlite, karena teknologi otomotif di Indonesia yang sudah mengadopsi teknologi kendaraan berstandard Euro2/II sejak 1 Januari 2007 dan Euro3 khusus sepeda motor sejak 1 Agustus 2013. Apalagi kini sudah mengadopsi teknologi kendaraan berstandard Euro4/IV sejak 10 Maret 2017 yang lalu, sehingga BBM sekelas Pertamax dan Perta-Dex juga sudah tidak memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai BBM kendaraan berstandard INI. Saat ini kita membutuhkan BBM yang memenuhi spesifikasi untuk teknologi kendaraan berstandard Euro4/IV. Untuk itu, seharusnya Pemerintah sudah menghapuskan ke 4 jenis BBM tersebut dan menggantikannya dengan spesifikasi yang sesuai," ujar Ahmad Safrudin dalam konferensi pers di Sekretariat KPBB, Gedung Sarinah Lt 12 JI. MH Thamrin No 11, Jakarta Pusat. Jumat siang, (16/8)
Sayangnya Pemerintah masih ambigu, kata Ahmad Safrudin, di satu sisi ingin melepas beban dalam memasok Premium 88 dan Solar 48, tetapi di lain sisi ingin mempertahankan posisi populis. Padahal peraturan perundangan telah mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menghentikan pasokan BBM yang tidak comphy dengan Standard Kendaraan Euro2/II (Bensin RON di bawah 91 dan Solar Cetane No di bawah 51: kadar Sulfur di atas 500 ppm) mulai 1 Januari 2007.
Ada keengganan mengupgrade kualitas BBM yang dipasarkan di SPBU dengan dalih sudah mengikuti spesifikasi BBM yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal MIGAS, tutur Ahmad Safrudin. Demikian halnya keengganan meng-up grade spesifikasi BBM dengan berbagai dalih antara lain kilang Pertamina tidak siap karena kilang tua. Pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada hari Jum'at 16 Agustus 2019 di depan Sidang MPR RI harus dijadikan acuan, yaitu menghilangkan sekat-sekat sektoral dalam pengendalian pencemaran udara termasuk melalui peningkatan kualitas BBM sesuai dengan engine technology requirement, sebagaimana guideline dari World Wide Fuel Charter yang berisi spesifikasi BBM yang disepakati bersama antara produsen BBM dan produsen otomotif dunia yang di-up date hampir setiap 2 (dua) tahun.
"Ketersediaan BBM dengan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan bermotor adalah mutlak agar bisa melaksanakan regulasi standard emisi kendaraan (Euro4/IV) yang bertujuan melindungi masyarakat dari pencemaran udara sekaligus memicu daya saing industri otomotif dan industri minyak nasional menghadapi
persaingan global," tutup Ahmad Safrudin. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar