Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Institute for Development of Economics and Finarnce (INDEF) menggelar Seminar Nasional dengan topik "Tantangan Investasi di Tengah Kecamuk Perang Dagang" hari Selasa,16 Juli 2019, pukul 09.00 - 13.00 wib bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta dengan Keynote Speech: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta para pembicara antara lain: Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani, dan ekonom senior INDEF, Didik J. Rachbini, Aviliani dan Bustanul Arifin serta ekonom Faisal Basri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan masalah utama yang dihadapi Indonesia di tengah berkecamuknya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) serta para mitra dagang utamanya adalah lemahnya daya saing dan produktivitas Indonesia.
"Masalah fundamental Indonesia adalah competitiveness dan productivity, oleh karena itu, Pemerintah terus fokus melakukan kebijakan berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, mendukung inovasi dan riset serta reformasi birokrasi. Hasil dari kebijakan tersebut akan dirasakan nantinya untuk jangka menengah-panjang," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Untuk meningkatkan competitiveness dan productivity sangat tergantung dari "kualitas manusianya' maka pendidikan dan pelatihan menjadi penting, tergantung kepada 'kualitas infrastruktur' maka infrastruktur harus dibangun, tergantung kepada 'inovasi dan research' maka kita membuat policy mengenai research dan inovasi menggunakan instrumen fiskal, tergantung 'kualitas birokrasi' maka Presiden me-reform birokrasi, tambahnya.
Untuk jangka pendek, kata Sri Mulyani, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen fiskal juga didesain untuk merespon kebutuhan yang bersifat situasional jangka pendek melalui 'counter cyclical'. "APBN kita sebagai instrumen fiskal terus-menerus mencoba merespon kebutuhan jangka pendek (fungsi fiskal sebagai stabilisasi) melalui kebijakan counter cyclical.
Namun APBN juga harus mampu menjadi faktor katalitik untuk mempengaruhi hal-hal yang sifatnya fundamental dan struktural tadi, tegas Menteri Keuangan. Selain itu, disaat yang sama Pemerintah juga terus melakukan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat marginal seperti pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan.
Sementara itu, Didik J. Rachbini menambahkan, ada beberapa hal yang menjadi sorotan INDEF dalam melihat tantangan investasi di tengah kecamuk perang dagang. INDEF memandang: Investasi di Indonesia belum efisien. Nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia untuk 2016-2018 masih berada di angka lebih dari 6. Sangat jauh dari nilai ICOR tahun 2008 yang berada di angka 3,7. Akibatnya, realisasi investasi belum mampu mendorong pertumbuhan sektor industri untuk menjadi prime mover ekonomi nasional.
Perang dagang berdampak pada peningkatan PDB Indonesia 0,01 persen, lanjut Didik, Disisi lain, perang dagang merugikan AS dan China dimana PDB masing-masing negara terkoreksi 0,1 dan 0,6 persen. Negara yang paling banyak mendulang keuntungan perang dagang adalah Vietnam dengan pertambahan PDB sebesar 0,52 persen.
"Perang dagang berdampak pada peningkatan investasi (FDI) Indonesia sebesar 1,02 persen. Bagi AS dan China, perang dagang menyusutkan investasi mereka masing-masing 3,91 persen dan 2,67 persen. Vietnam mendapatkan keuntungan terbesar dengan peningkatan investasi sebesar 8,05 persen," ungkap Didik.
"Perang dagang tidak menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Perang dagang AS-China juga berdampak pada penurunan ekspor 0,24 persen. Hal yang sama juga terjadi di AS dan China dengan penurunan masing-masing sebesar 8,2 persen dan 7,09 persen. Penurunan ekspor AS utamanya disebabkan karena menyusutnya ekspor ke China, demikian juga sebaliknya," tutup Didik. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar