Hans Suta, SH |
Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Dokter atau para medis lainnya merupakan bagian dari komunitas utama yang dibutuhkan dalam dunia kesehatan sangat mungkin terlibat dalam suasana perang atau konflik sosial.
Dalam Hukum Humaniter Internasional mengikat tenaga kesehatan untuk memberikan perawatan pada korban dari pihak manapun tanpa pandang bulu. Mereka memberikan bantuan kesehatan kepada penduduk sipil yang terluka dalam konflik tanpa membedakan suku, ras dan agama.
Dalam Konvensi Jenewa I 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 melindungi tenaga kesehatan dari serangan langsung saat perang atau konflik, selama mereka tidak ikut berperang atau konflik secara langsung.
Namun dalam kenyataanya masih banyak petugas medis yang menjadi korban atau menjadi sasaran perang dengan serangan. Itu terlihat pada demo damai dari Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNRC) di depan Bawaslu, Selasa (21/5) dan Rabu(22/5).
Petugas medis yang termasuk dalam Palang Merah Internasional, Perhimpunan Relawan harus dihormati dan dilindungi. Hal ini terdapat di dalam Konvenis Jenewa I 1949 dalam Pasal 24: Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit maupun personil yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan kesehatan harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan.
Hal ini juga dipertegas oleh Protokol Tambahan I 1977 dalam Pasal 12 Ayat 1 yang menyatakan : bahwa satuan-satuan kesehatan harus setiap saat selalu dihormati dan dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan.
"Yang terjadi pada para medis yang bertugas di mobil Dompet Dhuafa kami nilai luar biasa kejam dan brutal. Bayangkan saja, bukan saja kaca-kaca yang dihancurkan oleh aparat beseragam hitam - hitam, tapi juga para medis yang bertugas kemanusiaan dihajar secara brutal secara bersama - sama." Kata Suta Widhya SH dari IKB-UI pada Jumat (24/5) siang di Jakarta.
"Selayaknya petugas keamanan yang diterjunkan dibekali pengetahuan bagaimana perlindungan petugas medis. Petugas medis harus mendapat perlindungan dalam konflik. Perlindungan Petugas Medis dalam Konflik di Afgahnistan, Konvensi Jenewa I - 1949 dan Protokol Tambahan I 1977, " lanjut Suta.
Menurutnya, rezim yang berkuasa saat ini seakan haus darah, sehingga korban tewas dan hilang tidak jelas hari ini berapa sesungguhnya. Zaman Orde Baru (Orba) tidak separah rezim yang ada saat ini.
Suta membandingkan perlakuan aparat saat Rezim Orde Baru, berhenti memukul setelah massa lari. Tapi, saat ini sampai ke kampung - kampung bahkan massa yang sudah masuk ke b dalam mesjid pun diserang petugas.
Dirinya miris melihat video anak muda yang dianiaya di tanah lapang tanpa berbuat apapun. Tendangan sepatu laras besi, pentungan popor senjata, dan tinju pasukan hitam - hitam viral dimana - mana.
"Ini harus dihentikan. Tidak boleh ada senjata dengan peluru tajam. Untuk itu kami himbau agar Komnas HAM segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)." Tutur Suta lebih lanjut.
Saat ini telah terjadi krisis kepercayaan terhadap hasil Pemilu 2019 yang diduga keras terjadi aneka pelanggaran dan kejahatan politik. Mulai dari pemberian amplop oleh petahana, contekan atau kisi-kisi pertanyaan yang telah dibocorkan KPU kepada petahana, pemberian amplop oleh oknum caleg sebanyak 400.000 amplop, memakai fasilitas negara, menggalang birokrat untuk mendukung petahana, menggalang kades, pencoblosan awal untuk Pemilu Luar Negeri di Malaysia dan banyak lainnya.
"Semua itu belum termasuk permainan dari institusi penegak hukum yang seharusnya netral namun ternyata berpihak pada petahana. Ini semua nyata dan terlihat vulgar di depan mata rakyat. Bagaimana mungkin itu bukan kecurangan bahkan kejahatan Demokrasi?" Heran Suta menutup pembicaraan. **
(Rel)
Setiap rezim punya jejak sendiri
BalasHapus