Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Francis Fukuyama, dalam buku terbarunya berjudul Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018) memunculkan fenomena politik global di dekade kedua Abad ke-21 yaitu politik identitas. Istilah ini mengacu pada kristalisasi kebencian yang muncul dan berkembang dalam hampir semua kelompok masyarakat, dengan beragam isu dan sebabnya, yang mengambil bentuk dalam rupa identitas kelompok. Energi dasar dari politik identitas ini adalah kebencian terhadap praktek terbuka yang dinilai tidak adil atau tidak selaras dengan idealisme kelompok.
Boni Hargens selaku Direktur Lembaga Pemilih Indonesia dalam diskusi menuturkan, menguatnya gejolak perlawanan terhadap proses penghitungan suara hasil pemilu oleh KPU dengan asumsi menuduh yang dibangun dengan sengaja, tanpa dasar empiric dan legal yang kuat, bahwa ada kecurangan dalam pilpres 2019.
"Dalam rangka menghadapi 22 Mei 2019, dimana KPU akan secara resmi mengumumkan pemenang pemilu presiden 2019, upaya pendaur-ulangan kekerasan menjadi bisnis politik yang mahal," tutur Boni selaku Pengantar diskusi Problem Demokrasi Elektoral atau Sekedar Mainan Bandar Politik? hari sabtu, 11 Mei 2019 pukul 16.45 - 18.00 wib di Ammarin Restaurant, Plaza Sentral GF, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 47, Karet Semanggi, RT.5/RW.4, Karet Semanggi, Jakarta.
"Bisnis kekerasan adalah praktek yang lumrah di banyak tempat di dunia. Tetapi kelumrahan itu tidak memberikan legitimasi apapun hari ini di sini, di negeri ini, untuk kita membenarkan apa yang mereka upayakan dengan segala macam cara untuk mengacaukan pemilu dan demokrasi," tegas Boni.
"Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) sejak tahun 2009, mendiskusikan ancaman radikalisme keagamaan dan bahaya politik identitas sebagai tantangan terberat bagi implementasi demokrasi elektoral , terutama dalam merawat keindonesiaan sebagai identitas kolektif kita sebagai sebuah negara-bangsa," imbuh Boni.
Hari ini, lanjut Boni, setidaknya sejak 2016, kita melihat fenomena mobilisasi massa ideologis yang murni dan saleh untuk menjadi kekuatan politik dalam rangka meraih tujuan kepentingan dari para bandar dan pemain dalam bisnis politik elektoral.
"Bahwa musuh demokrasi, musuh kita, sudah membesar kekuatannya karena para bandar politik mendapat dukungan dari kelompok teroris, perkara kita sudah melompat dari perkara pemilu menjadi perkara kemanusiaan yang universal karena terorisme adalah musuh kemanusiaan-terlepas dari segala bentuk identitas agama, suku, ras, dan apapun," jelas Boni.
Menurut Boni, yang harus kita lakukan adalah memberikan dukungan sebesar-besarnya kepada aparat kepolisian, TNI dan komunitas intelijen dalam menertibkan "kenakalan" para bandar kerusuhan politik dan dalam menumpas kaum teroris yang menjadi penumpang gelap dalam huru-hara pemilu ..
Sambil memberikan dukungan kepada aparat keamanan, Boni menambahkan, kita juga harus mengawasi dengan kritis para penyelenggara Negara agar tidak melakukan tindakan yang melampaui kewenangan konstitusional. Penerapan pasal makar oleh Polri adalah langkah yang tepat dan konstitusional. Hal itu tidak melawan prinsip hukum demokrasi. Menghadapà ancaman terorisme yang nyata menjelang 22 Mei 2019, masyarakat tidak perlu resah. Yang dibutuhkan saat ini adalah kedamaian dan ketenangan.
"Demokrasi hanya bisa hidup karena adanya aturan main (rule of the game). Kalau demokrasi tidak memakai aturan, itu namanya anarki. Mereka yang menolak aturan demokrasi dan memaksakan diri menang pemilu adalah bagian darà kelompok anarkis yang harus dihadapi dengan pendekatan hukum yang kuat," tutup Boni.(Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar