Duta Nusantara Merdeka |
Bekerja dengan niat yang tulus dan dilaksanakan secara ikhlas, nampaknya menjadi barang langka di negeri ini. Tentu bukan tidak ada, tapi banyak yang berfikir pragmatis bahwa ketika seseorang berbuat sesuatu pasti ada yang dimau. Kalau ada orang yang memberi sesuatu, pasti akan meminta sesuatu, maka munculah idiom praktis yang berbunyi, “Tidak ada makan siang yang gratis”. Apakah semua orang selalu berfikir demikian ? Pasti tidak karena saya yakin masih banyak yang berfikir dan bekerja dengan ikhlas.
Satu atau dua hari menjelang pemilihan legislatif 17 April yang lalu, ada sesuatu yang menggelitik di handphone saya. Lebih dari 30 sms/ whatsapp yang masuk bertanya, “ Pak Dede ikut pemilu ? Dari partai mana dan no berapa ? biar saya dan keluarga saya coblos ? bahkan akan saya kerahkan temen – temen saya untuk mendukung pak Dede”. Begitu kira – kira isinya, meskipun kalimatnya tidak sama persis tetapi maksudnya kurang lebih seperti itu.
Menerima rentetan pertanyaan yang hampir senada tersebut, saya jawab bahwa saya berterima kasih atas kepercayaan dan dukungannya, namun mohon maaf karena saya tidak ikut – ikutan mendaftarkan diri sebagai caleg, karena tidak diperbolehkan oleh aturan. Saya diangkat, dilantik dan disumpah dibawah al Qur’an, dimana intinya akan mengikuti aturan dengan selurus – lurusnya. Oleh karena itu saya hanya berusaha untuk mentaati aturan sebagaimana sumpah yang pernah saya ucapkan.
Lalu saya mencoba untuk bertanya kepada yang bersangkutan, “kenapa bertanya begitu pada saya ?’. dia mengatakan bahwa, “Saya mengetahui bahwa Pak Dede banyak melakukan aktivitas sosial di tengah masyarakat. Berbagai pelatihan diberikan secara gratis, bahkan banyak organisasi yang meminta pembinaan, pengarahan dan pencerahan selalu disanggupi dengan penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, mungkin semua dilakukan pak Dede karena mau ikut mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif kali ini ?”.
Sebuah jawaban polos yang terlontar secara spontan dan sangat menhentak nurani saya. Apakah semua orang yang melakukan aktivitas sosial selalu berorientasi pada kedudukan atau jabatan ? Saya tidak menyalahkan orang yang bertanya atau yang punya pendapat, karena semua pendapat itu syah – syah saja tentunya. Namun demikian, yang terbersit dalam fikiran saya adalah seberapa banyak orang yang memiliki fikiran bahwa ketika orang berbuat “baik” pasti ada maunya. Ketika orang lain memberi, pasti ada yang mau ia pinta. Mungkinkah ini salah satu efek negatif dari sistem politik transaksional yang masih marak di tengah masyarakat kita, sehingga segala sesuatu pasti ada nilai transaksinya.
Lebih lanjut penanya memberi penjelasan bahwa ia bertanya begitu, karena menjelang pemilu banyak orang yang mendadak “baik”, “alim” dan “berhati mulia”, katanya. Lihat saja dari cara berpakaian saja banyak yang pura – pura santun dan religius. Simbol – simbol religiusitas digunakan, seperti menggunakan kopiah atau jilbab, padahal sehari – harinya tidak pakai kopiah atau jilbab. Pesantrean dan ulama atau tokoh agama banyak dikunjungi untuk memperoleh dukungan dan restu, padahal sehari – harinya dinilai sangat jauh dari nilai – nilai pesantren. Orang miskin dirangkul, orang tua disuapi, dan berbagai foto kepedulian lainnya pada si miskin. Padahal kalau sudah jadi mana ingat sama mereka. Lihat saja pada saat masyarakat kena musibah banjir misalnya, berapa banyak anggota legislatif yang peduli ? yang datang merangkul ? yang datang menyuapi ? mana kepedulian yang selama kampanye sering mereka tunjukkan ?
Jika dahulu orang yang terpilih dan dipercaya menerma amanat itu menangis, karena takut tidak bisa melaksanakan amanat dengan baik. Tapi kini tidak sedikit orang berebut untuk mendapatkan kepercayaan dan amanah dengan segala cara, bila perlu “membeli amanah” dengan uang yang dimilikinya. Ada yang salah dengan “jual beli amanah” selama ini, sehingga pola fikir transaksional terus berkembang.
Di tengah miskinnya kepedulian terhadap kehidupan sosial, harus ada yang berusaha untuk menjadi penggerak kepedulian dan pelopor tertib sosial di tengah masyarakat. Pengangguran dan kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan seminar – seminar di hotel mewah, tetapi harus ada kegiatan konkrit untuk meningkatkan keterampilan sesuai dengan minat dan bakatnya.
Bagi mereka yang memiliki harta, silakan beramal sosial dengan hartanya. Bagi mereka yang tidak memiliki harta, tetapi memiliki ilmu maka silakan beramal sosial dengan ilmunya. Tetapi jika harta dan ilmu tidak punya, maka setiap orang masih bisa beramal sosial dengan tenaganya. Jadi kalau benar kita mencintai bangsa dan negeri ini, beramal sosiallah dengan apa yang kita miliki. Jangan pernah berfikir untuk menumpuk kekayaan dengan menguras tenaga kaum miskin dan mengeksploitasi sumber daya alam dengan penuh keserakahan.
Ingatlah bahwa dari apapun yang kita miliki, ada sebagian milik orang lain. Berikanlah kepada mereka yang berhak, sebelum Tuhan mengambilnya dengan cara yang Tuhan kehendaki. Semoga kita menjadi bagian dari warga negara yang bisa menunaikan amanah, hak dan kewajiban secara seimbang dan sesuai dengan aturan. **
Penulis : Dede Farhan Aulawi
Pengamat Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar