Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Kongres Pribumi menampilkan drama sendratari dan monolog yang menggambarkan kondisi kekinian bangsa ini yang tengah dilanda keresahan menghadapi masa depan.
Menurut Max Sopacua selaku steering comitte Kongres Pribumi, siapapun yang Berkuasa, Boemipoetra Harus Mendapat Tempat yang utama Pemerintahan. Pemakaian istilah Boemipoetra atau Priboemi awalnya sempat diperdebatkan.
Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia bertema "Kembalikan Hak-hak Boemipoetra: Boemipoetra pendiri negara, Boemipoetra pemilik negara, Boemipoetera penguasa negara berlangsung 29 - 30 Maret 2019 dimana para peserta registrasi sejak 28 Maret.
Tampak hadir dalam pembukaan kongres itu di antaranya inisiator Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia MS Kaban, Hatta Taliwang, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan KeamananTedjo Edhy Purdijatno mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, dan akademisi Prof. Dr. Achmad Mubarok serta beberapa tokoh nasional lainnya.
Peserta kongres yang hadir 32 dari 34 provinsi yang ada saat ini. Para Anggota yang hadir mengirim utusan lima orang per Propinsi, di luar kehadiran 15 raja dan sultan dari Aceh hingga Papua.
Banyak keresahan dan kegalauan masyarakat adat, raja dan sultan nusantara yang ternyata hampir 74 tahun Indonesia merdeka, mereka dengan seluruh rakyatnya belum merasakan merdeka, berdaulat, adil, makmur dan sejahtera.
Sesuai dengan harapan mereka yang telah ikhlas suka rela menyerahkan segala kekuasaan otoritas dan wilayah tanah air beserta seluruh rakyat dan keturunannya untuk Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI.
Rekomendasi Ketua Umum Bina Bangun Bangsa untuk Kongres Pribumi Indonesia yang berlangsung sejak 28 sd 30 Maret 2019 di Jakarta sebagai berikut:
1. Boemipoetra adalah orang bangsa Indonesia asli yang ikut dan sepakat serta menandatangani Kongres Pemuda 1928 dan sesuai Amanat Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, 18-8-1945, yang dibacakan dan ditanda tangani atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.
2. Cabut semua UU dan/atau peraturan perundang-undangan yang melarang penggunaan istilah "Pribumi" terutama Inpres/Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
3. Susun dan dorong melalui MPR dgn TAP MPR dan DPR untuk Undang-Undang tentang Boemipoetera.
Isi UU tsb mengatur keberpihakan negara kepada Boemipoetera sebagai pemilik, pendiri, penguasa NKRI, termasuk penguasa atas kepemilikan dan penguasaan tanah, serta segala potensi SDA dan Tekhnologi demi terwujudnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
4. Non Boemipoetera tidak memiliki Hak Politik (Hak Dipilih atau Memilih dalam Trias Politika : Executive, Legislative, Yudikative) yang hanya dimiliki oleh Bangsa Indonesia Asli (BoemiPoetera) yang selanjutnya diatur dgn undang-undang tentang politik, uu tentang kependudukan dan/atau kewarganegaraan yang membedakan hak dan kewajiban WNI dan WNA (Non Boemipoetera).
5. Sosialisasi konstitusi atau konvensi internasional yang mengakui hak-hak Boemipoetera dan mengedukasi kepada seluruh Bangsa Indonesia akan hal Kemerdekaan Sejati dari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17-8-1945 untuk Berdaulat, Adil dan Makmur.
6. Menolak segala macam dan bentuk upaya membentuk peraturan dan perundang2-an yg mengatur kewarganegaraan dan memberikan dwi kewarganegaraan bagi bangsa lain, sehingga meniadakan hak-hak boemipoetera bangsa Indonesia Asli.
7. Mendorong untuk melakukan Referendum seluruh Rakyat Indonesia untuk Menolak UUD 1945 hasil amandemen dan wajib Kembali ke UUD 1945 yang asli beserta penjelasannya, terutama pasal 6 yang mengatur Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia Asli, sebagai bentuk nyata keberpihakan negara terhadap hak-hak kemerdekaan dan kedaulatan boemipoetera. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar