Duta Nusantara Merdeka | Manokwari
Kesejahteraan untuk warga Papua masih menjadi tantangan besar, karena keunikan wilayah geografisnya, latar belakang masyarakatnya, kondisi alamnya, dan faktor yang saling berkombinasi. Pemerintahan Presiden Jokowi-JK secara jelas menegaskan keberpihakannya kepada masyarakat Papua di dua provinsi –Papua dan Papua Barat— melalui jalan kolaborasi –tidak sekadar partisipasi—dalam upaya peningkatan kesejahteraan di Papua.
Hal itu terungkap dalam seminar nasional dengan tema “Tantangan dan Harapan Pembangunan Pendidikan, Kesehatan, dan Ketenagakerjaan di Papua” yang berlangsung di Auditorium Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat, Selasa, 12 Maret 2019.
Hadir menjadi pembicara kunci antara lain adalah Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani, Pangdam XVIII Kasuari Mayjen Joppye Onesimus Wayangkau, Kapolda Papua Barat Brigjen (Pol) Rudolf Albert Rodja, dan Wakil Gubernur Papua Barat Muhammad Lakotani.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, “Komitmen Presiden Jokowi terhadap pembangunan di Papua sudah tidak perlu dipertanyakan. Kalau Papua diperlakukan sama, akan makin tertinggal dari wilayah lain.” Secara khusus, Presiden juga menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.
Apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi menunjukkan tanggung jawab politik mewujudkan keadilan sosial terutama di tanah Papua. Sebagai pemimpin, Presiden Jokowi mengemban tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk di Papua.
Tanggung jawab itu ditunjukkannya dalam komitmen yang sangat tinggi terhadap pengembangan dan penyetaraan Papua. Inpres itu menjadi instrumen dan pintu masuk menangani Papua secara bermartabat.
Melalui Inpres tersebut, Jokowi memerintahkan untuk menggunakan pendekatan kolaborasi antara banyak pihak, dan bukan sekadar seremoni atau partisipasi yang biasa. Dengan adanya Inpres tersebut, percepatan pembangunan “dikeroyok” bersama-sama dengan melibatkan 27 kementerian dan lembaga dan 2 pemerintah provinsi.
Dari sisi keterlibatan, Inpres tentang Papua ini merupakan salah satu Inpres yang paling banyak melibatkan kementerian/lembaga untuk bersinergi dan berkolaborasi.
Jaleswari juga menjelaskan bahwa mengelola dan memajukan Papua tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah. “Harus holistik. Harus memperhatikan budaya warga Papua yang juga berbeda-beda, dan menggunakan pendekatan dari bawah ke atas,” ujarnya. Ia menambahkan, mengapa kampus dipilih sebagai tempat mendiskusikan Papua, karena kampus mewakili masyarakat terdidik yang obyektif dan rasional, sehingga kita bisa membicarakan dengan tanpa prasangka dan kepentingan tertentu.
Sementara itu Pangdam XVIII Kasuari Mayjen Joppye bercerita, dalam proses rekrutmen prajurit misalnya, dibutuhkan perlakuan dan prasyarat khusus supaya anak-anak Papua bisa lolos. “Kalau tidak, tidak akan ada yang lulus seleksi,” ujarnya. Makanya, meskipun dirinya bertanggung jawab terhadap masalah keamanan di Papua Barat, ia mengaku bahwa kendala utama untuk membangun dan mempercepat pembangunan kesejahteraan di Papua Barat adalah rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya kualitas kesehatan.
Pada kesempatan yang sama, Kapolda Papua Barat Brigjen (Pol) Rudolf memberikan gambaran umum sangat amannya kondisi kamtibmas di Papua Barat, “Setiap hari gangguan kamtibmas di seluruh wilayah Papua Barat ini rata-rata hanya sekitar 8 kasus per hari. Itu sudah termasuk kecelakaan lalu lintas, kekerasan dalam rumah tangga, kriminalitas, atau narkoba. Bandingkan dengan Polsek Kebayoran Baru di Jakarta, misalnya. Kasus gangguannya dalam satu Polsek bisa puluhan hanya dalam hitungan kurang dari 3 jam. Jadi, dalam hal kamtibmas, Papua Barat ini adem ayem dan kondusif. Sangat aman.”
Rudolf menambahkan, yang juga diperlukan dalam pembangunan di Papua adalah bagaimana pemimpin di level manapun, berani untuk mengajak masyarakat mengubah cara pandang atau mindset mereka. “Saya suka geregetan. Papua Barat punya Raja Ampat, tapi dive masternya belum ada yang berasal Papua. Kita harus mengubah mindset anak-anak muda Papua, bagaimana mereka berani menjadi bos bagi diri sendiri,” ujarnya.
Sedangkan Wakil Gubernur Papua Barat Muhammad Lakotani menjelaskan, sebenarnya masalah anggaran untuk pengembangan kesejahteraan di Papua Barat relatif tidak menjadi soal, karena APBD Provinsi besarnya sekitar Rp 8 triliun dan anggaran lainnya yang totalnya bisa mencapai Rp 20 triliun. “Penduduk di Papua Barat ini jumlahnya 1,3 juta orang saja. Tantangannya adalah bagaimana mengalokasikan anggaran secara tepat,” ujarnya.
Ia mengakui bahwa Indeks Pembangunan Manusia di Papua Barat itu meningkat dari tahun ke tahun. “Tapi itu juga sering menjadi tempat kita bersembunyi dan mencari pembenaran, bahwa indeks pembangunan manusia di Papua Barat sudah naik,” tambahnya.
Terkait dana otonomi khusus, Wakil Rektor II Universitas Papua Dr. Bambang Nugroho M.Sc menilai bahwa pengelolaan dana otonomi khusus memang masih memiliki tantangan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan di bidang pendidikan dan kesehatan. Ia menambahkan, “Membangun NKRI dari pinggiran, posisi Papua Barat ada di pinggiran. Dibutuhkan akselerasi untuk bisa sejajar dengan wilayah Indonesia bagian barat.”
Jika ukurannya adalah tepatnya langkah yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, maka langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi menunjukkan arah yang sudah tepat, dan perlu diperkuat untuk menyempurnakan pelaksanaannya di lapangan. Ia menyinkronkan agenda dalam Nawacita membangun dari pinggiran, dengan memberikan instrumen yang tepat melalui Inpres No 9/2017. Dr. Bambang Nugroho M.Sc (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar