Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Masa efektif tahapan kampanye tersisa beberapa minggu lagi menjelang pemungutan suara yang ditetapkan pada 17 April 2019. Di sisi lain, keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden tentu berdampak pada strategi caleg perempuan- -DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dalam menghadapi Pemilu 2019. Maka sangat penting untuk terus menggaungkan kesiapan caleg perempuan menghadapi Pemilu 2019 dalam upaya untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan sebagaimana amanat konstitusi, perundang-undangan, dan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainabilty development goals-SDG's), serta rekomendasi umum Komite CEDAW PBB tentang afirmative action peningkatan keterwakilan dalam lembaga kebijakan.
Keterwakilan politik perempuan, terutama di lembaga legislatif, merupakan komitmen bersama bangsa ini untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender khususnya dalam kebijakan publik. Penerapan kebijakan afirmatif untuk pencalonan perempuan dalam tiga pemilu terakhir (2004, 2009, 2014) menunjukkan adanya pencapaian keterwakilan perempuan di legislatif. Pada Pemilu 1999 yaitu pemilu pertama di Era Reformasi dan tanpa kebijakan afirmatif, jumlah perempuan terpilih di DPR hanya 9%. Saat kebijakan afirmatif pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004, terjadi peningkatan jumlah perempuan terpilih di DPR yaitu 65 dari 550 anggota (11,8%). Pada dua kali pemilu terakhir, keterpilihan perempuan di DPR cenderung stagnan, yaitu 18% dan 17%. Sementara keterpilihan perempuan di DPD turun dari 28,8% (2009) menjadi 25,89% (2014). Bahkan dari 33 provinsi, terdapat 11 provinsi yang tanpa keterwakilan perempuan di DPD RI periode 2014-2019.
Mencermati kondisi tersebut, Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) bersama elemen gerakan perempuan yaitu Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) sebagai wadah perempuan pengurus partai politik, dan Maju Perempuan Indonesia (MPI) menggelar kegiatan "For Perempuan dan Politik : Caleg Perempuan Siap Hadapi Pemilu 2019", menggelar konferensi Pers hari Senin, 11 Maret 2019 pukul 13.00 -14.00 wib bertempat di Ruang KK, Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan. Jakarta yang merupakan forum komunikasi para pegiat isu-isu perempuan, serta organisasi masyarakat sipil pro demokrasi lainnya, memandang Pemilu 2019 sebagai momentum strategis untuk memastikan adanya peningkatan keterwakilan perempuan Ä‘i DPR, DPD dan DPRD.
Sejumlah hal berikut ini menunjukkan urgensi pentingnya peningkatan keterwakilan politik perempuan di legislatif hasil Pemilu 2019:
1 Pencalonan perempuan untuk DPR RI mencapal 406, yang tertinggi sepanjang pemilu-pemilu era reformasi. Data calon anggota legislatif yang ditetapkan KPU RI menunjukkan jumlah calon anggota legislatif dari 16 partai politik peserta pemilu adalah 7.985 orang dan sebanyak 3.200 di antaranya perempuan, atau mencapai 40.08% dari total caleg DPR RI. Hal ini berarti terjadi peningkatan slgnifikan jumlah caleg perempuan dari Pemilu 2014 sebanyak 37%, dan Pemilu 2009 sebanyak 33%. Peningkatan jumlah caleg perempuan tersebut selain disebabkan kebijakan afirmatif dalam UU Pemilu No.7 tahun 2017 dan diperkuat oleh Peraturan KPU RI, juga menunjukkan kesiapan perempuan untuk bersaing pada pemilu serentak yang pertama kali ini diselenggarakan.
Di sisi lain, pencalonan perempuan untuk anggota DPD RI masih rendah yaitu 136 perempuan dari total 807 calon DPD, atau hanya 16.99%. Untuk itu, kami sangat mengapresiasi dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para perempuan yang telah berani mengambil keputusan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tengah berbagai tantangan berlapis-lapis sejak proses pencalonan di internal partai politik, berkampanye di daerah pemilihan, hingga persaingan memperebutkan suara pemilih.
2. Isu dan kepentingan perempuan dalam kebijakan publik di nasional dan daerah masih belum terakomodasi secara maksimal. Pada periode 2014-2019 masih ada sejumlah rancangan undang-undang terkait isu perempuan yang mengalami kemandekan pembahasan di DPR. Misalnya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang sangat terkait dengan kepentingan kesejahteraan dan perlindungan perempuan.
Sementara itu pada level daerah, data Komnas Perempuan juga menunjukkan terbitnya sejumlah peraturan daerah yang berpotensi mendiskriminasi perempuan dalam aktivitasnya di ranah publik dan domestik. Penuntasan berbagai kebijakan tersebut membutuhkan sinergitas antarpelaku kebijakan (legislatif pemerintah), pemahaman dan perspektif gender para pengambil kebijakan, serta kehadiran pengalaman perempuan yang khas dalam proses pengambilan keputusan di legislatif. Pada tataran inilah, keterwakilan politik perempuan menemui makna strategisnya untuk terlibat pada jantung proses politik yaitu pengambilan kebijakan.
3. Pemilih perempuan banyak secara kuantitas tetapi belum berdaya secara politik. Data KPU menunjukkan pada setiap pemilu, jumlah pemilih perempuan sama banyaknya dengan laki-laki. Ini artinya potensi suara pemilih perempuan sangat signifikan dalam menentukan keterpilihan pemimpin politik. Partisipasi perempuan sebagai pemilih pun cenderung lebih tinggi dari laki-laki, sehingga dapat dikatakan keterlibatan pemilih perempuan merupakan faktor penting keberhasilan penyelenggaraan pemilu.
Namun kenyataannya masih ditemui kondisi pemilih perempuan mengalami intimidasi dan ancaman kekerasan dalam menentukan pilihannya. Pemilih perempuan cenderung dijadikan target mobilisasi dukungan suara, namun agregasi kepentingan mereka seringkali tidak diakomodasi dalam program-program kampanye dan rencana kebijakan. Maka menyikapi situasi ini, kami mendorong kepada para caleg perempuan dimanapun, bahwa dalam berkampanye untuk menyuarakan dan mengagregasi kepentingan pemilih perempuan, serta mengedukasi agar pemilih perempuan semakin berdaya dalam menentukan pilihannya tanpa terpengaruh imbalan uang, barang. dan bentuk-bentuk kampanye hitam/negatif.(Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar