Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Revisi UU TNI tiba-tiba membangkitkan wacana kembalinya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Padahal dua hal tersebut sangat tidak relevan. ABRI secara tegas mengubah diri dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Paradigma menjadikan TNI lebih profesional jelas menghilangkan konsep dwifungsi.
Persoalan dwifungsi mengemuka dalam dialog awak media bersama Jenderal (Purn) Dr. Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP). Jaleswari Pramodawardhani, Deputi V KSP yang hadir mendampingi Moeldoko, hari Jumat, 8 Maret 2019. Kepada jurnalis yang hadir, Kepala Staf menjamin Presiden Joko Widodo tidak akan mengembalikan dwifungsi. “Setelah reformasi, TNI sudah mengubah diri menjadi institusi yang profesional,” ujar Moeldoko di kantor KSP.
Moeldoko mencontohkan saat bertekad menjadi institusi yang professional, prajurit TNI tidak lagi bermain-main di wilayah politik dan bisnis. Meski pemenuhan sikap itu belum dibarengi dengan pemenuhan akan hak-hak professional kepada prajurit. Seperti kemampuan peralatan dan kesejahteraan prajurit. “Tapi prajurit tidak pernah mengeluh,” ungkap Panglima TNI periode tahun 2013 - 2015.
Seperti diketahui, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Robertus Robert menggelar aksi pada 28 Februari lalu. Dalam aksinya, Robertus mengkritik TNI dengan menyanyikan lagu Mars ABRI yang dipelesetkan. Gara-gara orasinya, Robertus harus berurusan dengan aparat hukum.
Pemerintah menyampaikan terima kasih terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. Sebab kritik merupakan bentuk penghormatan terhadap demokrasi. “Namun tolong jangan sampai kritik itu melanggar undang-undang. Patuhi koridor-koridornya,” jelas Moeldoko.
Pada kesempatan tanya jawab, jurnalis mempertanyakan rencana prajurit TNI yang bakal menduduki jabatan sipil.
Hal inilah yang dicurigai sebagai kembalinya dwifungsi. Namun Moeldoko menegaskan saat ini ada 10 institusi yang bisa dijabat TNI aktif. Pengisian ini, menurutnya sesuai dengan Undang-Undang TNI.
Pasal 47 ayat (2) undang-undang itu menyebut, TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Senada dengan apa yang disampaikan Moeldoko, Jaleswari meminta agar revisi terhadap UU TNI dibaca secara cermat. Sebab Undang-Undang TNI itu dibuat pada tahun 2004, dimana saat itu memang baru ada 10 lembaga. Dalam perkembangannya ternyata ada lembaga baru yang mungkin dapat diisi oleh TNI sesuai dengan tugas dalam undang-undang.
Karenanya, ia meminta agar membaca revisi Pasal 47 UU TNI itu harus dikaitkan dengan Pasal 7 yang menyebut TNI bisa menempatkan pasukan untuk urusan perbatasan, terorisme, hingga penanggulangan bencana. “Mengembalikan dwifungsi itu mimpi. Tidak mungkin,” tutup Jaleswari.(Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar