Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
PT AstroZeneca Indonesia (AZl) sebagai mitra Kementerian Kesehatan berkerja sama dengan Center of Health Economics and Policy Science (CHEPS) Universitas Indonesia meluncurkan program HEBAT (HEarBeATs) Indonesia hari Senin, 18 Februari 2019 pukul 09:00 – 12:00 wib bertempat di Hotel JS Luwansa, Ruang Meeting Rapha 1 & 2 (lantai 2), Jl. H. R. Rasuna Said No. Kav. C-22, RT.2/RW.5, Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dihadiri Pembicara :
- dr. Anung Sugihantono, M. Kes. selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI,
- dr. Ade Median Hambari, SpJP selaku Perwakilan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI),
- Dr. Evit Ruspijono, Sp.JP. selaku RS. Dr. Iskak Tulungagung,
- Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD selaku Ketua CHEPS FKM UI dan
- Rizman Abudaeri selaku Direktur PT AstraZeneca Indonesia.
Program ini menyatukan para pemangku kepentingan terkait yang mencakup tenaga kesehatan, asosiasi kesehatan dan para pembuat kebijakan unıtuk bersama sama mengevaluasi kondisi riil penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA) pada tahap pre-hospital di Indonesia HEBAT (HEarBeATs) merupakan program yang memilih pendekatan triple helix, yaitu pendekatan yang menyatukan akademisi, industri dan pemerintah untuk melakukan upaya sinergis dan berkolaborasi dengan guna mengoptimakan penanganan pre-hospital pada pasien SKA di Indonesia Program ini merupakan bagian dan Nota Kesepakatan (MoU) yang ditandatangani pada tahun 2017 antara Kementerian Kesehatan dan AZI dalam upaya menangani penyakit tidak menular seperti kardiovaskular, pernapasan, diabetes, dan kanker di Indonesia.
Berdasarkan data Global Health Data Exchange (2017) penyakit jantung iskemik menjadi peringkat ke-2 penyebab utama kematian di Indonesia setelah stroke sejak 2007-2017, dengan peningkatan sebesar 29/%.' Hal ini juga didukung dengan data survey Indonesia Sample Registration System (2014) yang menunjukkan bahwa penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua umur setelah stroke, yakni sebesar 12.9%.
dr. Ade Median Hambari, SpJP selaku perwakilan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiolovaskular Indonesia (PERKI) juga menambahkan Rekomendasi waktu sejak diagnosis hingga memperoleh pertolongan terapi reperfusi bagi pasien yang datang ke RS yang mampu memberikan pelayanan Intervensi Koroner Primer (KP) adalah 90 menit. Sedangkan bagi pasien yang datang ke RS yang tidak mampu memberikan layanan IKP. yang kemudian ditransfer RS lainnya yang mampu memberikan layanan IKP guna memperoleh terapi reperfusi, direkomendasikan dalam rentang waktu 120 menit. Namun, dari sudut pandang tata laksana penanganan, Sindrom Koroner Akut (SKA), terdapat fenomena keterlambatan diagnosa pasien Ä‘i mana kesadaran masyarakat untuk mengenali gejala awal dan berkonsultasi kepada tenaga medis diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan proses penyembuhan."
dr. Dafsah A Juzar, SpJP(K) menjelaskan Rendahnya pemahaman pasien akan gejala awal serangan jantung tercermin pada data laporan program iSTEMI (Indonesia ST Elevated Myocardial Infarction) yang dilakukan oleh PERKI di wilayah Jakarta Barat dan sekitarnya. sehingga pasien SKA memerlukan waktu lebih dan 4,5 jam untuk mencapai fasilitas kesehatan yang memiliki kemampuan repertusi.
Semakin lama keterlambatan pasien untuk mendapatkan reperfusi, angka mortalitas pun semakin tinggi.
Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 penyakit jantung koroner yang temasuk di dalamnya sindroma koroner akut merupakan penyebab kematian paling banyak setelah stroke dan hipertensi.
Jantung koroner temasuk dalam 10 besar penyakit tidak menular terbanyak pada tahun 2018 yakni sebanyak 3.910 kasus. Oleh karenanya, diagnosis dini dan tata laksana yang akurat dapat menurunkan mortalitas SKA.
Program HEBAT (HEartBeATs) Indonesia ini akan berfokus pada tatalaksana penanganan SKA dalam tahap pre-hospital dimana terapi reperfusi penting dilakukan dalam rentang Periode Emas guna mencegah kematian pada pasien yang mengalami serangan.
Implementasi program ini akan mulai dilakukan pada tahun ini secara bertahap, dimulai dengan studi fomatif yang diperkirakan berlangsung selama enam bulan. Sehingga kedepannya akan diperimbangkan untuk dilanjutkan dengan program intervensi sesuai dengan hasil studi formatif.
Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD selaku Ketua Center of Health Economics and Policy Science (CHEPS) Universitas Indonesia menjelaskan. Studi fomatif ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab penundaan tahap pre-hospital pada pasien SKA di Indonesia, seperti edukasi untuk meningkatkan kesadaran pasien, investasi terhadap sarana penunjang dan praktek kerja di lapangan yang dibutuhkan untuk mempersingkat penundaan tahap pre-hospital pada pasien SKA Sehingga diharapkan studi ini dapat mendorong pengembangan strategi inovatif untuk mengurangi ponundaan pada tahap pre-hospital pasien-pasien SKA di lndonesia untuk mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup pasien."
Studi formatif akan dilaksanakan kepada populasi pasien temasuk mereka yang mengalami nyeri dada akut yang kemudian didiagnosis sebagai SKA dan dirawat di unit gawat darurat.
Penelitian akan berfokus pada responden di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RSJHK) Data pasien akan dikumpulkan secara berurutan pada saat masuk, keluar dan selama masa tindak lanjut. Proses pengumpulan data akan dikumpulkan oleh enumerator terlatih, dalam koordinasi erat dengan staf RSJHK.
Rizman Abudaeri selaku Direktur PT AstraZeneca Indonesia menambahkan bahwa AstraZeneca memiliki komitmen yang kuat untuk bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan mitra lain dalam membangun ekosistem di bidang kesehatan untuk mengatasi kesenjangan dalam penatalaksanaan penyakit seperti SKA. Melalui program HEBAT (HEartBeATs) diharapkan dapat berkontribusi terhadap optimalisasi sistem kesehatan pasien SKA pre-hospital di Indonesia dengan pelaksanaan riset formatif and best practice sharing dari Kabupaten Tulungagung yang mendapatkan penghargaan inovasi layanan publik di tahun 2018 untuk program Layanan Sindroma Koronaria Terintegrasi."
Reporter : Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar