Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Gerakan Kebangkitan Indonesia Gelar Bedah Buku Mengapa Kita Harus Kembali Ke UUD 45 hari Jum’at, 15 Februari 2019 pukul : 13.00 - 17.30 wib bertempat di Jakarta Theater Ballroom, Jl. Thamrin, no. 9. Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat dengan
Keynote Speaker, Dr. Hariman Siregar
Pengantar ;
Drs. H. Taufiequrahman Ruky S. H
Drs. H. Taufiequrahman Ruky S. H
Pembicara ;
Haris Rusly Moti
Salamudin Daeng
M. Hatta Taliwang
Edwin Soekowati
Haris Rusly Moti
Salamudin Daeng
M. Hatta Taliwang
Edwin Soekowati
Moderator ;
Ir. Wawat Kurniawan, Msc.
Ir. Wawat Kurniawan, Msc.
Para Pembicara, sebagaimana juga mereka kemukakan di dalam buku, berbicara
blak-blakan sangat terbuka dan terang-terangan sebagaimana pula dirasakan dan
dibicarakan masyarakat luas mengenai berbagai masalah yang dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk perkiraan keadaan yang akan timbul apabila
demokrasi yang berdasarkan individualisme dan liberalisme terus diberlakukan.
Demokrasi seperti itu menurut Taufiequrachman Ruky melahirkan pertarungan yang
liar dan keras, yang hanya akan melahirkan segelintir elit penguasa.
Demokrasi
seperti yang sekarang berlaku adalah demokrasi berbiaya tinggi yang membuat
uang menjadi sangat berkuasa.
Artinya orang kaya, kaum pemodal dan kapitalis lah
yang akan menguasai partai-partai politik dan bukan rakyat, dan selanjutnya mereka
akan menguasai bangsa dan negara Indonesia.
Tentang Pancasila, Taufieq Ruki menyatakan, belakangan banyak beredar slogan
dan ungkapan “Aku Pancasila” serta tuduhan terhadap kelompok lain sebagai tidak paham Pancasila bahkan anti Pancasila, anti NKRI. “Pancasila yang mana yang
mereka maksudkan?. Pahamkah mereka yang mengaku Pancasilais, bahwa Pancasila
yang digagas Bapak Bangsa Kita, Bung Karno dan dikukuhkan secara resmi sebagai
Dasar Negara dalam UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, semenjak tahun
2002 sudah tidak lagi menjadi Dasar Falsafah Negara dan tidak lagi menjadi sumber
kebijaksanaan bagi penyelenggara Pemerintah serta pengelolaan negara ?”
Jenderal (Purn) Agustadi menyatakan, Pancasila sebagai dasar
negara perlu dirumuskan dalam batang tubuh UUD, di dalam Pembukaan UUD,
susunan Negara memang disebutkan terdiri dari lima dasar, tetapi belum diberi
nama Pancasila. Karenanya penegasan nama Pancasila sebagai Dasar Negara itu
perlu disebutkan di salah satu pasal dalam batang tubuh.
Mengenai sistem Pemilu, mantan Kepala Staf Angkatan Darat yang juga pernah menjadi anggota DPR/MPR selama tujuh tahun ini menyarankan agar disesuaikan
dengan nilai-nilai Pancasila, yakni sistem perwakilan sebagaimana dalam sila
keempat. Pemilu ditujukan hanya untuk memilih anggota DPR dan DPR Daerah,
sedangkan Presiden, Gubenur, Bupati dan Walikota dipilih oleh MPR, DPRD Propinsi
atau DPRD Kabupaten/ Kota.
Tokoh aktivis yang juga merupakan salah satu tokoh Gerakan Reformasi 1998
Hariman Siregar menyoroti reformasi yang telah di bajak menuju pembusukan politik
dan ekonomi.
Pembusukan politik merupakan persoalan kompleks bernuansa patologis dalam dinamika kehidupan bernegara akibat merapuhnya institusi-institusi
demokrasi oleh banalitas politisi.
Realitas sosial yang centang perentang dan krisis moral di ruang publik adalah penyebab paling menentukan timbulnya pembusukan publik.
Pada hematnya, sejarah reformasi yang menjadi penerobos kebuntuan dan antitesa
dari kerusakan di masa sebelumnya, memakan dirinya sendiri, dilumat kembali oleh
krisis politik dan moral. Tak berjalannya kanal-kanal demokrasi dan terciduknya
pemimpin lembaga tinggi negara serta para kepala daerah oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, menandai rusaknya sistem politik-kenegaraan.
Reformasi yang kita mau adalah reformasi yang tidak sekadar pemilu lima tahunan,
melainkan berfungsinya pilar-pilar penyangga demokrasi yakni penegakkan hukum
yang adil, partai politik yang modern, pers yang sehat dan masyarakat sipil yang
konsisten, yang semuanya membawa pada perbaikan taraf hidup rakyat.
Namun Hariman Siregar menyayangkan, reformasi yang kemudian menghasilkan Amandemen UUD, kental nuansa liberalismenya dan tercerabut dari akar budaya
bangsa. Amandemen UUD membuat rakyat terpecah belah dan sekaligus produk
yang membuat orang asal ngomong, bohong, fitnah, adu domba dan sombong. Prinsipnya bikin gesekan sosial. Pemilihan capres dan cawapres saja, patut dinilai
tidak sehat, transaksional, jegal menjegal yang penuh dengan nafsu haus
kekuasaan.
Pakar hukum tatanegara yang khusus datang dari Surabaya, Dr. Soetanto
Soepiadhy SH, MH menilai, perubahan UUD 1945 telah
mengakibatkan terjadinya penyimpangan ketatanegaraan dan kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat, juga penyimpangan terhadap cita-cita bangsa Indonesia
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Hal itu bisa memicu konflik baik
horizontal maupun vertikal, dan solusi untuk mencegahnya adalah dengan kembali
ke UUD 1945.
Tulisan dan pandangan tokoh-tokoh dalam 3 (tiga) buku tersebut, yaitu
(1) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disertai Adendum;
(2)
Bangkit Bergerak Berubah atau Punah dan
(3) Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 sangat jelas, lugas dan tanpa tedeng aling-aling lagi mengupas keadaan
sekarang, kajian perkiraan keadaan masa depan.
Sepanjang kegiatan mengkritisi UUD Amandemen semenjak awal 2000-an, baru kali ini tokoh-tokoh masyarakat tersebut bicara sekeras dan seterbuka seperti itu secara tertulis, baik tentang orang orang munafik yang sekarang sok Pancasilais sampai pada gambaran bahaya yang akan segera timbul jika UUD Amandemen terus dijalankan khususnya dalam
Pemilihan Umum.
Usulan Para Tokoh Kepada MPR RI
1) Perlunya MPR RI melakukan program sosialisasi secara berkelanjutan tentang rangkaian sejarah lahirnya Dasar Negara yang kita kenal dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan nama Undang Undang Dasar 1945, agar nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Indonesia Merdeka oleh The founding fathers and mothers, tetap lestari.
2) Mengingat kandungan dan nilai-nilai hasil amandemen UUD 1945 tidak sama dengan UUD 1945 aslinya, maka untuk tidak diberi nama UUD 1945.
Hasil
amandemen UUD 1945 lebih tepat jika diberi nama UUD 2002, sehingga bisa
dipertanggung-jawabkan secara akademis dan tidak membingungkan generasi
demi generasi.
3) MPR perlu membentuk Komisi Konstitusi dengan anggota para pakar berbagai disiplin ilmu yang terkait, berjiwa Pancasilais, bukan anggota Parpol dan tidak terlibat amandemen, dengan tugas :
a) Mengkaji konstitusi hasil amandemen UUD 1945, baik secara akademis
apakah pasal-pasalnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maupun
dampaknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b) Apabila dalam kajian ternyata pasal-pasalnya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan berdampak buruk terjadinya perpecahan bangsa sehingga membahayakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar menyarankan kepada MPR bentuk langkah penyelamatan bangsa dan negara.
c) Apabila saran yang diajukan untuk penyelamatan bangsa dan negara kembali ke UUD 1945, maka dalam rangka menyongsong kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, Komisi Konstitusi agar menyusun penyempurnaan UUD 1945 dengan cara memberikan adendum tanpa merusak aslinya.
4) Masa kerja Komisi Konstitusi tidak dibatasi hanya pada masa bakti MPR RI saat ini, tetapi berkelanjutan dengan masa bakti MPR RI berikutnya.
5) Buku “Bangkit, Bergerak, Berubah atau Punah” dan “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945” serta buku “Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Disertai Adendum” dari Gerakan Kebangkitan Indonesia, kiranya dapat sebagai bahan pertimbangan Majelis Permusyawaratan Rakyat terhadap saran-saran di atas.
Reporter : Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar