Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menunjukkan komitmennya untuk menangani penyelesaian pengaduan pelanggan fintech pendanaan online, baik yang diterima langsung maupun yang masuk melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Namun sampai kini, pihak LBH Jakarta belum juga memberikan data pelanggaran penyelenggara fintech pendanaan online yang dilaporkan ke LBH.
Ketua Harian AFPI, Kuseryansyah mengatakan untuk pengaduan yang masuk melalui LBH Jakarta, masih belum dapat dituntaskan karena hingga kini asosiasi belum memperoleh data-data pendukung dari LBH.
"AFPI sudah beberapa kali berkomunikasi dengan LBH Jakarta untuk menyelesaikan pengaduan nasabah ini. Namun sampai kini, pihak LBH Jakarta belum juga memberikan data dari pengaduan yang dimaksud. Bahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun sudah meminta detil pengaduan konsumen terkait, namun sampai saat ini belum diberikan", tutur Kuseryansyah.
Dia menambahkan, sangat disayangkan itikad baik dari OJK dan asosiasi untuk meyelesaikan pengaduan nasabah yang masuk melalui LBH Jakarta tidak direspon baik oleh LBH sebagai pihak penerima laporan tersebut. Diharapkan kedepannya, LBH Jakarta dapat kooperatif menyelesaikan masalah pelanggan yang terkait.
LBH sebagai lembaga bantuan hukum, lanjut Kuseryansyah, seharusnya berlaku adil dalam setiap tindakan, atau tidak boleh berat sebelah. Begitu juga terkait laporan dari pelanggan yang masuk ke LBH terkait fintech pendanaan online, sebaiknya LBH kooperatif kepada pihak yang dilaporkan dan berorientasi pada penyelesaian masalah.
Tingkatkan Perlindungan
Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menambahkan AFPI memandang perlindungan konsumen fintech pendanaan online sebagai hal yang sangat serius, sehingga perlu mendapat informasi secara langsung dari pihak-pihak terkait secara lugas dan transparan. Dengan demikian asosiasi dapat mengambil tindakan adninistratif secara tegas, apabila terbukti telah terjadi pelanggaran.
"Jika memang ada pengaduan yang melibatkan anggota asosiasi, akan kami selesaikan. Namun pengaduan yang di luar anggota atau perusahaan fintech pendanaan online tidak terdaftar diselesaikan di Bareskrim atau Cyber Crime," tutur Sunu.
Sunu menambahkan secara preventif, AFPI telah membentuk komite etik yang akan mengawasi pelaksanaan kode etik operasional atau code of conduct (CoC) Fintech Peer to Peer (P2P) Lending (Pendanaan Online). Dengan demikian akan melindungi konsumen, seperti diantaranya, larangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya pinjaman maksimal pinjaman. Dalam kode etik tersebut AFPI menetapkan total biaya pinjaman tidak boleh lebih dari 0,8% per hari dengan penagihan maksimal 90 hari.
Selain itu, AFPI juga tengah mengembangkan pusat data Fintech untuk mengindikasi peminjam nakal. Jika peminjam tidak melunasi utang dalam 90 hari, maka akan tercatat pada pusat data fintech sebagai peminjam bermasalah.
Tak hanya itu, untuk memitigasi peredaran pinjaman online ilegal, Asosiasi intech akan menerapkan sertifikat lembaga penagihan. Didalamnya diatur pelarangan penyalahgunaan data nasabah dan kewajiban melaporkan prosedur penagihan.
Keberadaan komite etik dan langkah-langkah perlindungan ini sekaligus menegaskan komitmen pelaku usaha dalam menerapkan standar praktek bisnis yang bertanggung jawab untuk melindungi nasabah maupun penyelenggara. Munculnya peraturan tersebut menjadi bukti bahwa para pelaku usaha fintech P2P Lending ingin membangun industri fintech dalam negeri lebih baik kedepannya.
Posko Pengaduan
Kuseryansyah menambahkan AFPI juga telah menyiapkan perangkat untuk melindungi pelanggan pendanaan online dengan menyediakan Posko Pengaduan Layanan Pendanaan Online yang dapat diakses melalui call center maupun email.
"Sebagai bukti AFPI ingin melindungi pelanggan dan ingin memajukan industri Fintech Pendanaan Online, asosiasi berinisiatif menyediakan Posko Pengaduan Layanan Pendanaan Online. Diharapkan dengan upaya-upaya ini dapat memberian perlindungan kepada nasabah maupun penyelenggara Fintech," ujar Kuseryansyah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat saat ini sudah ada 99 perusahaan Fintech Pendanaan yang terdaftar dan telah melakukan layanan lebih dari 9 juta transaksi pada lebih dari 3 juta masyarakat diseluruh Indonesia. Masyarakat yang diberi pendanaan mayorias mereka yang belum dapat mengakses layanan keuangan seperti bank, multifinance, yakni berasal dari kelompok pekerja, petani, nelayan, pengrajin, UMKM. Selain itu, pelaku usaha mikro kelompok wanita, mahasiswa dan milenial yang membutuhkan pendanaan untuk kebutuhan pendidikan, dan kelompok masyarakat lain yang membutuhkan pendanaan kesehatan dan kepemilikan properti Fintech Pendanaan yang terdaftar di OJK tersebut, melayani pendanaan online yang pada akhir tahun 2018 mencapai Rp 22 triliun.
Kami hadir untuk menjaga agar industri Fintech khususnya P2P Lending ini dapat berperan positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara riil melalui inklusi keuangan yang lebih menyeluruh, dan dalam praktiknya selalu menjunjung tinggi kode etik yang melindungi hak-hak konsumen," tutup Kuseryansyah.
Reporter : Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar