Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Adanya Fintech, financial technologi beroperasi ditengarai telah menambah jumlah orang miskin di perkotaan. Mengapa bisa terjadi? Begini ceritanya :
Salah seorang korban pinjaman super cepat acc-nya datang ke Kantor Pusat Bina Bangun Bangsa, Kamis (24/1)pagi mengisahkan kesulitannya. Amir, nama salah seorang korban Fintech merasa betapa berat bunga yang diterapkan oleh PT. X, salah satu pelaku usaha pinjaman super cepat persetujuannya.
Amir pinjam uang hanya dengan Rp. 7.000.000 dengan bunganya 2 % per bulan. Namun, entah mengapa tangihan menjadi berkembang-biak menjadi Rp. 12.000.000 hanya lantaran beberapa kali tidak mengangsur cicilan.
"Uniknya sistem yang diterapkan oleh perusahaan Fintech sangat berat. Misalnya, utang Rp. 1.000.000 maka uang diterima sebesar Rp. 800.000 dengan kewajiban bayar bayar sebesar Rp. 1.200.000 dalam 14 hari kalender. Bila telat bayar saat jatuh tempo maka dikenakan denda bunga lagi."Jelas Amir kepada Wakil Sekretaris Jenderal Bina Bangun Bangsa Suta Widhya SH didampingi pengurus LSM Bina Bangun Bangsa lainnya.
Terhadap kasus yang dialami oleh Amir, pengurus teras Bina Bangun Bangsa ini memberikan catatan khusus terhadap keanehan perusahaan Fintech yang hanya berizinkan dari Kemeninfo, dan tidak ada izin usaha lain.
"Tampaknya ada skenario global yang ingin merusak bangsa ini dengan cara menjerat dalam jeratan rentenir internasional. Lihatlah serangan bangsa Cina dengan memasok ber-ton-ton sabu-sabu demi menghancurkan kaum muda Indonesia. Barang-barang seperti tekstil, garmen, mainan anak - anak dan lainnya demi menghancurkan produk lokal, "lanjut Suta.
Wakil Sekjen Suta mengatakan bahwa dana yang dikucurkan berasal dari Singapura dan Cina daratan. Itu pun menurut Suta bisa jadi berasal dari uang dalam negeri yang masuk kategori" money laundry".
Suta berharap lembaga OJK segera tanggap untuk membereskan persoalan renternir internasional yang beroperasi di negeri ini. Menurutnya, dari 72 perusahaan Fintech hanya ada 1 saja yang legal. Yang lain bisa jadi liar alias tidak punya izin beroperasi.
Amir mengatakan puterinya yang meminjam mengalami dibully habis saat terlambat mengangsur pinjaman. Teror itu masuk ke akun Facebook, Twitter, email dan lainnya. Ini berlaku massif dan terjadi pada para konsumen lainnya.
"Pokoknya sakit sekali berurusan dengan Fintech. Cara menagihnya mirip debt collector, dan bahkan lebih sadis karena melakukan character assasination." Keluh Amir lebih lanjut.
Menanggapi keluhan Amir, maka Bina Bangun Bangsa memberikan referensi untuk menemui Ketua Bantuan Hukum Effendi Saman SH yang sudah beberapa waktu membuka pintu Crisis Center. Pusat bantuan tersebut menangani banyak kasus rentenir internasional ini. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar