Satu dari Empat anak perempuan di Indonesia menikah pada usia anak atau sebelum mencapai usia 18 tahun. Hal ini dikemukakan oleh Lenny N Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mewakili Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dalam acara Dialog Publik dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta.
Menurut Lenny, tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan. Indonesia menempati posisi ke 2 di ASEAN dan ke 7 di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak paling tinggi. Tingginya angka tersebut harus segera disikapi oleh berbagai pihak terutama pemerintah agar tingkat perkawinan anak dapat diturunkan sesuai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.
“Dampak perkawinan anak terjadi pada anak laki-laki dan perempuan. Namun anak perempuan lebih rentan mengalami kondisi tidak menguntungkan, seperti putus sekolah, hamil pada usia anak yang berpotensi menyumbang terjadinya komplikasi kesehatan reproduksi, angka kematian ibu (AKI), gizi buruk, stunting, pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian dan berujung pada pemiskinan perempuan secara struktural.
Keseluruhan tersebut menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan juga capaian Sustainable Development Goals / SDGs. Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan,” jelas Lenny N Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA.
Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi 'Darurat Perkawinan Anak', dan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, Kemen PPPA sejak tahun 2016 terus berkolaborasi dengan berbagai lembaga masyarakat, kementerian / lembaga, pemerintah daerah dan jaringan media mencetuskan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA) sebagai upaya bersama untuk menekan angka perkawinan anak.
GEBER PPA merupakan inisiatif untuk menyinergikan upaya - upaya pencegahan perkawinan anak oleh pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Inisiatif ini bertujuan untuk mengakselerasi penurunan angka perkawinan anak dengan berperspektif pencegahan melalui edukasi masyarakat dan mendorong kebijakan atau hukum yang mengatur perkawinan anak.
Dalam momentum tersebut Kemen PPPA mengajak masyarakat untuk ikut dalam gerakan dengan turut menyuarakan upaya pencegahan perkawinan anak. Menteri PPPA, Yohana Susana Yembise juga menyampaikan bahwa upaya gerakan bersama ditandai dengan hal yang membanggakan.
Mahkamah Konstitusi pada Kamis 13 Desember 2018, telah membacakan putusan atas pengujian Pasal 7 (1) UU Perkawinan mengenai batas usia anak dan memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun.
Putusan progresif ini tentu merupakan kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan anak untuk anak-anak Indonesia. Dalam putusan ini juga mengamanatkan untuk pemerintah bersama pembentuk Undang-Undang diberi waktu 3 tahun melakukan upaya untuk melaksanakan putusan tersebut.
Tentu kerja keras tersebut akan dilakukan bersama, meskipun teradapat banyak tantangan yang luar biasa untuk menghapus praktik perkawinan anak. Sebab, seperti disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi, perkawinan anak adalah merupakan bentuk eksploitasi seksual pada anak dan inskonstitusional.
Kemen PPPA berkomitmen bersama seluruh stakeholders melakukan berbagai langkah strategis untuk pencegahan perkawinan anak. Sejak tahun 2010, bersama para penggiat pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan Kementerian/Lembaga, Pemda, Lembaga Masyarakat dan Media, Kemen PPPA mengembangkan Kebijakan Kabupaten/ Kota Layak Anak (KLA) dengan salah satu indikator adalah Perkawinan Anak.
Hal ini merupakan kebijakan bagi perlindungan anak, dengan fokus utama menaikkan usia dispensasi perkawinan di atas usia anak atau di atas 18 tahun dengan usia ideal di atas 21 tahun, dan membatasi dispensasi perkawinan. Hingga Juli 2018, KLA telah dilakukan di 389 kabupaten/kota", tegas Lenny.
Pada puncak GEBER PPA diberikan pula penghargaan terhadap pejuang pencegahan perkawinan anak yang telah memberikan sumbangsih kinerja terbaiknya dalam upaya pencegahan perkawinan anak sebagai Champion Daerah Tahun 2018.
Penghargaan berdasarkan 4 (empat) kategori yaitu Kategori Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota: Ibu Badingah, Bupati Gunung Kidul; Kategori Organisasi Non Pemerintah KPS2K dari Jatim; Kategori Aktor Di bawah Usia 18 tahun: Dewa dari Ka. Bondowoso; dan Kategori Aktor Di atas 18 tahun: Indotang dari Kab. Pangkep Sulsel, Suroto dari Kab. Lombok Timur NTB dan Misran dari Kab. Nias Sumut.
GEBER PPA dengan para penggiat di seluruh Indonesia, tidak hentinya tetap berkomitmen atas pencegahan perkawinan anak mengawal Generasi Emas Berkualitas, Berdaya Saing dan Tanpa Perkawinan Anak, menuju Indonesia Layak Anak (IDOLA) tahun 2030.
Kegiatan Dialog Publik dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak ini juga diselenggarakan sebagai rangkaian memperingati 16 Hari Peringatan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Hari Anak Sedunia serta rangkaian Peringatan Hari Ibu. **
Wartawan DNM : Imam Sudrajat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar