Duta Nusantara Merdeka |
Jumlah penduduk dari tahun ke tahun pasti bertambah. Sementara luas lahan produktif terus berkurang, khususlah lahan produktif pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini tentu akan menjadi masalah strategis yang sangat serius jika tidak difikirkan bersama.
Jumlah manusia yang bertambah banyak ini artinya tingkat “demand” terhadap produk pertanian khususnya pangan PASTI AKAN MENINGKAT. Sementara luas lahar pertanian semakin menyempit dengan dua alasan utama, yaitu sebagian lahan produktif sudah beralih fungsi menjadi pabrik, perumahan, dan lain – lain.
Meskipun sebenarnya ada payung hukum yang menaunginya terkait dengan hal ini, yaitu UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diharapkan mampu memberi solusi atas masalah alih fungsi lahan produktif pertanian.
Alasannya lainnya sudah sulit mencari buruh tani karena mereka lebih menyukai kerja di pabrik atau toko daripada harus berkubang lumpur di sawah. Dengan demikian maka jumlah produk pangan akan menurun, artinya tingkat “SUPPLY PASTI MENURUN”.
Jika Demand naik dan supply menurun maka otomatis harga akan naik, dan terus naik. Kenaikan harga jika diimbangi oleh kenaikan daya beli masyarakat tentu tidak menjadi masalah, karena masyarakat masih bisa membeli komoditi tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana jika harga terus naik, sementara daya beli tetap stagnan atau bahkan cenderung turun ? maka kemungkinan akan melahirkan banyaknya permasalahan – permasalahan sosial, dan tidak menutup kemungkinan bisa menimbulkan meningkatnya angka kriminalitas.
Di tahun 2035 diprediksi jumlah penduduk Indonesia sebesar 305 juta orang atau bahkan mungkin bisa lebih dari jumlah tersebut. Data statistik menunjukan bahwa kebutuhan konsumsi beras naik 19,6% dan jagung 20%, dan diikuti komoditas lainnya.
Di tinjau dari sisi domestik, memang Indonesia masih memiliki peluang dalam peningkatan produksi, karena sumber daya lahan yang dimiliki sangat luas. Daratan lebih dari 190 juta hektare, 23% lahan basah dan 77% sisanya (145 juta hektare) adalah lahan kering.
Ini bisa dioptimalisasi dengan sentuhan mekanisasi pertanian. Optimalisasi lahan dan peningkatan produksi pangan bisa dilakukan dengan peningkatan alat mesin pertanian, rehabilitasi irigasi, dan perluasan lahan untuk meningkatkan jumlah benih unggul.
Yang menjadi tantangan saat ini terkait dengan mekanisasi pertanian khususnya masalah jumlah dan kompetensi SDM bidang pertanian ini. Mekanisasi pertanian bukan hanya soal optimalisasi alat saja, tetapi juga pengembangan teknologinya. Seperti diketahui bahwa saat ini industri agro masih didominasi sawit. Dan di saat yang bermasamaan juga dikembangkan bio-industri berbasis bio-massa dengan fokus pada komoditas Jagung, Sagu, Ubi Kayu dan Pisang.
Sebenarnya jika merujuk pada Undang Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan menyatakan bahwa Ketahanan Pangan itu merupakan sebuah sistem yang utuh, komprehensif dan holistik, mulai dari ketersediaan, distribusi/pasar dan konsumsi. Artinya perlu melibatkan semua fungsi dan kolektifitas kesadaran masyarakat agar peduli dengan ketahanan pangan.
Partisipasi masyarakat menjadi penting, oleh karena itu hal ini akan menjadi pekerjaan sendiri bagaimana meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk memperkuat ketahanan pangan.
Apalagi kalau kita melihat pada anomali iklim yang tejadi saat ini dan belum mampu dikendalikan dengan rekayasa cuaca. Ketidakpastian iklim dan musim jelas akan mempengaruhi produksi pangan dan bisa menyebabkan gagal panen. Jika gagal panen maka komiditi produk akan melambung tinggi. Terlebih asuransi pertanian pun belum jalan seperti yang diharapkan.
Untuk itulah telah lahir konsep keanekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Kenapa konsep atau ide ini muncul ? karena fakta objektifnya permintaan masyarakat terhadap beras terus meningkat. Kita bisa melihat data konsumsi beras per kapita per tahun di Indonesia masih di angka 139, padahal bangsa lain sudah di bawah angka 100.
Oleh karena itu upaya untuk melakukan pengurangan jumlah konsumsi beras harus segera dilakukan. Dari sisi aturan sebenarnya hal ini pun sudah ada payung hukumnya, yaitu Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Isi pokok dari Peraturan Presiden ini mengamanatkan tentang pentingnya diversifikasi pangan yang harus terus dilakukan.
Masyarakat harus terus disadarkan, diajak dan diingatkan agar mampu mengurangi konsumsi beras, dan bisa menggantinya dengan bahan pangan lain yang memiliki rasa dan kandungan gizi yang sama dengan beras. Pengembangan teknologi pangan tidak bisa ditunda. Termasuk riset – riset untuk menemukan dan menciptakan bahan pangan non beras. Satu hal yang harus diingatkan adalah "One Day No Rice". Adagium ini akan menggeser model lama tentang "No Day Without Rice". **(Red)
Penulis : Dede Farhan Aulawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar