Oleh : Dede Farhan Aulawi
(Konsultan Manajemen)
Duta Nusantara Merdeka |
Algoritma berfikir manusia pada umumnya adalah belajar untuk meraih ranking yang bagus, lalu bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi favorit, terus mudah mencari kerja, selanjutnya mendapat posisi dan gaji yang besar, dan akhirnya semua bermuara pada tujuan akhir agar keluarga bahagia. Secara konsepsi tidak ada yang salah dari algoritma pemikiran ini, namun ada sesuatu yang berbahaya jika terbentuk framing bahwa untuk bahagia harus punya posisi dan kaya dulu.
Benarkah untuk bahagia harus punya kedudukan dan banyak uang dulu ???
Inikah yang menyebabkan banyak orang yang sikut – sikut, bahkan tidak sedikit yang fitnah sana fitnah sini untuk mendapat kedudukan dan pangkat yang bagus. Lalu dapat banyak uang dan akhirnya bahagia ? Juga ada sebagian orang yang tidak lagi menggunakan nalar yang sehat hanya sekedar untuk memperoleh jabatan dan uang. Untuk apa ? Tentu jawabannya sederhana agar bisa kaya dan akhirnya bahagia. Inilah nalar yang berbahaya ketika terminologi BAHAGIA mengandung syarat seolah – olah HARUS KAYA dulu.
Jika itu framing yang dipakai, maka seolah – olah hanya orang – orang kayalah yang memiliki hak untuk bahagia. Lalu bagaimana faktanya ? Ternyata banyak orang kaya yang merasa tidak bahagia. Rumah yang besar dan mewah tidak lantas membuat dia ingin segera pulang ke rumah. Jabatan yang tinggi tidak lantas membuat ia bahagia, karena waktu untuk bersama keluarga jauh lebih sedikit. Waktu dan fikirannya terkuras untuk kerja, karir dan harta. Malah ada sebagian yang menyadari kalau dirinya merasa lebih jauh dari amalan dan penghayatan ajaran agama.
Coba lihat sebaliknya, tidak sedikit orang yang secara materi kelihatannya jauh lebih miskin tetapi perasaannya merasa lebih bahagia. Orang yang tidur di emper – emper pertokoan bisa lebih nyenyak daripada mereka yang tidur di hotel bintang lima. Orang yang makan di pinggir jalan merasa lebih nikmat daripada mereka yang makan di restauran – restauran. Tapi juga tidak lantas disimpulkan untuk membuat perencanaan kemiskinan.
Keyword-nya bukan soal kaya atau miskin, melainkan bagaimana cara membangun hati, mental, sikap dan fikiran bahwa untuk bahagia tidak mesti nunggu untuk kaya terlebih dahulu. Dan untuk bahagia TIDAK HARUS NANTI, melainkan bisa kita bangun untuk bahagia SAAT INI juga. Oleh karenanya banyak hasil studi dan penelitian yang membuat kesimpulan bahwa, “manusia yang bisa memelihara rasa bahagia, terbukti lebih kreatif, lebih produktif, lebih memiliki ketangguhan mental, sehingga bisa meraih sukes hidup yang ingin diraihnya.
Selanjutnya mungkin timbul pertanyaan, bagaimana menumbuhkembangkan rasa bahagia agar kita selalu merasa bahagia ? Karena bahagia juga bukan berarti orang yang TIDAK PUNYA masalah, tetapi orang tersebut piawai dalam mengelola masalah. Dalam hal ini banyak landasan teori yang mengulasnya, hanya kalau disimpulkan intinya pada kemampuan kita untuk memiliki rasa kegembiraan (JOY), rasa syukur (Gratitude), rasa damai (Serenity), minat/ hobi ( Interest), harapan (HOPE), rasa bangga (Pride), suka canda tawa (Amusement), memiliki inspirasi (Inspiration), rasa takjub (Awesomeness), rasa cinta dan kasih sayang (Love).
Itulah ringkasan dari berbagai literatur terkait hal – hal yang perlu kita miliki dan kita lakukan agar kita senantiasa memiliki rasa bahagia. Rasa bahagia inilah yang akan mampu membuat kita lebih kreatif dan tangguh. Jangan mencari tangisan, tetapi juga siap jika harus menangis. Jangan menginginkan kemiskinan, tetapi juga harus siap mental jika miskin.
Kaya dan sukses tidak boleh membuat kita angkuh dan sombong, tetapi sebaliknya kalau kita belum sukses pun jangan lantas membuat kita lemah dan pasrah. Bangkit, bangun dan tetap semangat selamanya. Tersenyumlah selalu pada orang – orang di sekeliling kita, agar orang lain bisa ikhlas ikhlas memberi sebutir senyum buat kita. Benih – benih inilah yang akan membuat kebun fikiran kita dipenuhi oleh rasa tenang dan kebahagiaan. **(Red-51)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar