Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Awal Oktober 2018 dunia politik dihebohkan oieh drama operasi plastik Ratna Sarumpaet persis saat bangsa ini berduka karena Palu dan Donggala. Demokrasi elektoral mengambil bentuk yang paling buruk melalui "permainan hoaks" sebagai model baru kampanye politik.
Sejalan dengan politik identitas yang berkembang kuat sejak tahun 2016, kampanye hitam melalui penyebaran fitnah dan rekayasa fakta pun berkembang. Tampak bahwa kebohongan menjadi modus baru dalam membentuk persepsi politik masyarakat. Inilah yang kita sebut "politik kebohongan" dalam diskusi ini.
LEMBAGA PEMILIH INDONESIA mengelar DISKUSI PUBLIK Memahami Politik Kebohongan dalam Kacamata Pemilu pada hari Sabtu, 6 Oktober 2018 pukul 11.00 – 15.00 wib bertempat di Gado-Gado Boplo Satrio, Jalan Professor Doktor Satrio No.289,, Setiabudi, RT.1/RW.1, Karet Kuningan, RT.1/RW.1, Kuningan, Karet Kuningan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Narasumber : Saor Siagian selaku Advokat Pengawal Konstitusi, Ilham Sani selaku Peneliti LPI, Boni Hargens selaku Analis Politik, Karyono Wibowo selaku Peneliti LPI dengan Moderator Ali Ramadhan
Politik kebohongan jelas merusak keadaban demokrasi dalam segala dimensi. Daya rusak dari politik kebohongan bersumber pada "energy kebencian" yang menggerakkan para
pelaku politik untuk memobilisasi dukungan dengan menebarkan fitnah, ilusi, dan propąganda hitam yang tidak berbasis fakta Narasi kebencian menjadi narasi politik yang kuat dan gandrung menghalalkan segala cara. Energi kebencian yang begitu besar menstimulasi pabrikäsi kebohongan dan mendaur ulang hoaks sebagai bahan propaganda politik.
* Kenapa politik kebohongan'" dimainkan? Ada dua situasi yang membentuknya:
Pertama Kubu penantang mengalami kebuntuan dalam menyajikan narasi politik yang rasional dan berbasis gagasan dan program. Oposisi menjadi tidak kreatif, bahkan tidak cerdas dalam membangun kritik.
Kedua, Jokowi sebagai petahana sulit dilemahkan dengan pendekatan dan sosok Jokowi yang masih menjadi magnet public adalah hambatan terbesar bagi oposisi untuk melakukan upaya delegitimasi dengan cara yang elegan dan etis. Politik kebohongan adalah jalan pintas.
* Mungkinkah RS bertindak sendirian? Apakah kebohongan RS adalah kegenitan usia tua atau 'ulah setan' seperti alibinya?
Kebohongan RS pada dasarnya bukan masalah utama. Karena ia berbohong di ruang privat. la berbicara dengan oposisi di ruang tertutup. Yang menjadikan kebohongan itu skenario politik adalah kubu oposisi . Mereka membuat interpretasi yang berlebihan dan insinuasi yang kebablasan. Seolah-olah Negara menjadi biadab dan rejim Jokowi otoriter. Mereka mengadakan jumpa pers.
Merekalah yang membuat kebohongan RS menjadi fenomena politik. Kalau ini adalah kerja bersama, agenda tertutup yang dirancang bersama, maka masuk akal. Tidak mungkin orang hebat dan berpendidikan yang ada di kubu oposisi secara serempak menuduh penganiayaan tanpa bukti hukum. Tidak mungkin juga ini kebodohan kolektif atau sakit jiwa berjemaah yang tiba-tiba.
Lebih masuk akal kalau ini adalah rencana yang diatur jauh hari. Maka, pertanggungjawaban atas kasus ini harus melibatkan semua pihak yang terkait di dalam penyebarannya. Untuk itu, dalam konteks ini, kita perlu mengapresiasi kerja Polri yang dengan tegas menegakkan hukum dalam kasus ini.
Selain itu, saya ingin katakan bahwa dalam kasus RS ini, terjadi "kedungungan bersama" atau kegagalan-berpikir berjemaah" yang seperti virus baru mengidap para politisi oposisi pada waktu yang sama dengan cara penyebaran yang homogen. Lucu'? Jelas! Inilah lelucon terbaik menjelang Pemilu 2019.
Begitu fenomenalnya kasus RS ini, kami dari LPI ingin menyimpulkan tiga hal:
-Politik kebohongan" adalah revolusi strategi dalam politik elektoral yang perlu dicermati secara mendalam, sebagai bagian dari dinamika demokrasi Ini adalah bagian dari esensi kampanye hitam tetapi juga menjadi trend yang berpotensi mengancam masa depan peradaban demokrasi. Kami takut, kalau kekuatan seperti ini memenangkan pemilu, maka Negara akan dikendalikan dengan semangat kebencian. Di tengah konteks sosial yang rumit karena isu SARA menjadi modal politik, politik kebencian bisa meluluhlantakkan seluruh bangunan peradaban kita sebagai bangsa dan "masyarakat manusia".
- Baiklah kita mempertimbangkan "3 Oktober" sebagai Hari Hoaks Nasional untuk mengingatkan generasi selanjutmya bahwa pada satu titik sejarah telah terjadi drama
kebohongan terbesar yang mengancam peradaban : Maka, peringatan ini penting sebagai alarm untuk menyadarkan generasi selanjutmya bahwa hoaks adalah musuh demokrasi dan musuh peradaban umat manusia.
-Baiklah kita memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Ibu Ratna Sarumpaet sebagai "Ibu Hoaks Indonesia" untuk mengenang "jasa baik"nya dalam membuka kotak Pandora persoalan politik di tanah air yang makin hari makin dikuasai oleh energy kebencian, kebohongan, fitnah, dan politisasi SARA.
- Perkembangan politik di tanah air telah memperlihatkan proses evolusi sosial yang terbalik. Manusia politik seharusnya berkembang makin beradab, tetapi yang terjadi justru makin biadab. Keragaman SARA dibenturkan untuk keuntungan elektoral.
Kemajuan teknologi Internet dimanfaatkan sebagai medium menyebarkan fitnah dan kebencian-yang seharusnya memudahkan manusia untuk berkomunikasi dan bertukar informasi dalam membangun peradaban. ** (Red-40)
Kontributor DNM : Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar