DNM.com (Jakarta)
Setelah KPU menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara resmi, muncul beragam respon dukungan terhadap capres dan cawapres. Tanpa terkecuali, para pejabat negara dan kepala daerah berbondong bondong menyatakan sikapnya mendukung Capres Petahana, Joko Widodo. Atas dukungan itu, tentu menjadi pertanyaan, bolehkah pejabat negara dan kepala daerah menjadi tim sukses dan pendukung capres tertentu?
Dukungan kalangan istana sudah terlihat sejak proses pendaftaran, dimana sejumlah pejabat negara terlihat mendampingi Presiden Jokowi mendatangi KPU dalam pendaftaran. Begitu juga, dalam rilis awal susunan tim sukses Pasangan Jokowi- Makruf pun terlihat sejumlah nama pejabat negara didalamnya.
Bahkan disebutkan pula, kepala daerah yang didukung oleh partai politik pengusung sebagai tim pemenangan. Lebih jelas lagi, beberapa waktu lalu, 10 orang bupati dan walikota se-Sumatera Barat telah menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap petahana .
Diskusi Fenomena dukungan Pejabat Publik & Kepala daerah terhadap petahana dan potensi pelanggaran, digelar pada hari Rabu, 25 September 2018 pukul : 12.30 - 16.00 wib bertempat di Warung Upnormal Coffee Roaster, Jln Wahid Hasyim no 56 Gondangdia, jakarta Pusat.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini Rahmad Bagja selaku Komisioner Bawaslu RI, Sudirman Said, Taufik Basari dari Partai Nasdem dan Veri Junaidi selaku Kode Inisiatif
Atas fenomena itu, secara normatif tentu tidak ada larangan bagi pejabat negara dan kepala daerah untuk menyatakan dukungannya kepada pasangan calon presiden petahana, bahkan lawan politiknya. Jangankan menyatakan dukungan, undang-undang pemilu pun memberikan ruang baginya untuk dilibatkan dalam proses kampanye.
Akan tetapi, yang menjadi perhatian serius atas sikap dukung mendukung itu adalah potensi tercederainya pemilu yang demokratis dan jurdil. Potensi munculnya dugaan pelanggaran karena tidak diperhatikannya batasan batasan yang telah ditentukan dalam aturan main kepemiluan.
Aturan Main
Undang-undang pemilu telah memberikan hak dan batasan batasan bagi pejabat negara dan kepala daerah untuk turut serta dalam kampanye. Bahkan bagi pejabat negara yang merupakan anggota partai politik diberikan hak untuk melakukan kampanye.
Sedangkan bagi pejabat negara yang bukan anggota partai politik, bisa berkampanye jika menjadi calon presiden, anggota tim atau pelaksana kampanye. Seperti kalangan istana, menteri atau pejabat negara lainnya, bisa melakukan kampanye jika yang bersangkutan menjadi tim dan pelaksana kampanye.
Artinya, para pejabat negara dan kepala daerah itu harus patuh dan tunduk terhadap aturan main dalam pelaksanaan kampanye. Misalnya, didaftarkan secara resmi sebagai anggota tim dan pelaksana kampanye.
Mekanisme kampanye nya pun mesti mengikuti aturan yang berlaku sesuai bentuk dan jenis kampanye nya. Selain mesti menjalani cuti diluar tanggungan negara, juga dibolehkan hanya sehari dalam seminggu.
Dengan menyatakan dukungannya, para pejabat negara, gubernur, bupati dan walikota, tidak serta merta boleh melakukan kampanye semaunya. Pejabat negara dan kepala daerah itu, terikat oleh larangan untuk tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya.
Fasilitas negara itu bisa dalam bentuk sarana mobilitas seperti kendaraan dinas pejabat negara, kendaraan dinas pegawai dan transportasi dinas lainnya. Selain itu juga dilarang menggunakan fasilitas lainnya seperti gedung perkantoran, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah (pusat, propinsi dan kabupaten/kota), sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah serta fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau APBD. Dikecualikan bagi gedung atau fasilitas negara yang memang disewakan untuk umum.
Selain larangan itu, penting juga bagi pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta kepala desa untuk tidak membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye sebagaimana Ketentuan Pasal 282 UU Pemilu.
Seperti kasus iklan keberhasilan pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi dengan membangun jembatan dan bendungan.
Iklan ini maupun kebijakan sejenis lainnya yang dianggap menguntungkan salah satu pasangan calon presiden, bisa dianggap melanggar larangan ini Mungkin sebelum masa kampanye masih dianggap sebagai sosialisasi kebijakan pemerintah, akan tetapi konteks sekarang, masuk dalam kategori pelanggaran kampanye pemilu. Khususnya membuat kebijakan yang menguntungkan pasangan calon tertentu.
Pengawasan
Menyikapi sikap dukungan sejumlah pejabat negara dan kepala daerah kepada petahana, sungguhnya merupakan informasi yang bagus. Artinya, sejak awal sudah bisa dipetakan aktor aktor yang mungkin terlibat dalam proses kampanye, khususnya pejabat negara dan para kepala daerah. Mengingat aksi dukung mendukung ini, potensial melahirkan efek samping bagi proses pemilu yang jurdil dan setara.
Berangkat dari pengalaman pemilihan kepala daerah, perihal netralitas pejabat menjadi dalil dalam permohonan sengketa hasil pilkada. Beberapa tindakan dan kebijakan selalu menjadi sorotan seperti kegiatan petahana mengganti pejabat, keterlibatan Aparatur Sipil Negara dalam pemenangan, intimidasi dan keterlibatan aparat desa, penggunaan fasilitas negara, mobil dinas dan kecurangan lainnya.
Sementara tahun 2018, persoalan yang paling banyak didalilkan pemohon terdiri dari persoalan seputar (a) Hak Pilih (b) Kesalahan Penghitungan Suara (c) Manipulasi DPT (d) Netralitas, Penyelenggara Pilkada (e) Pelaksanaan Pilkada (f) Politik Uang (g) Politisasi Birokrasi (h) Persoalan Syarat Pencalonan.
Melihat kondisi sekarang dan pengalaman pemilu lalu (pilkada), memiliki potensi yang sama akan munculkan kasus netralitas pejabat negara. Keterlibatan pejabat publik dan kepala daerah dalam kampanye Pemilu 2019 potensial marak terjadi jika sejak awal tidak disadari peserta pemilu, publik dan khususnya pengawas pemilu.
Keterlibatan pejabat publik dan kepala daerah, bisa membuka potensi pelanggaran yang bergesekan langsung dengan posisi dan kedudukannya. Seperti netralitas, penggunaan fasilitas negara hingga membuat kebijakan yang menguntungkan salah satu pihak. Keadaan inilah yang mesti diantisipasi oleh penyelenggara pemilu melalui fungsi pengawasan, ketika pejabat publik dan kepala daerah berbondong-bondong mendukung sebelah pihak.
Bawaslu sudah bisa memetakan potensi kerawanan akan keterlibatan pejabat negara dan kepala daerah. Bawaslu sudah bisa mengerahkan Bawaslu Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk memberikan perhatian khusus potensi pelanggaran ini. **(Red-131)
Reporter : Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar