DNM.com (Labuhan Bajo - NTT)
Forum Masyarakat Anti Mafia Tanah (FORMAMATA) berpandangan bahwa, kebijakan Bupati Kabupaten Manggarai Barat Agustinus Ch Dula melalui Keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor: 162/KEP/HK/2018, tentang Penetapan Klasifikasi Dan Besar Nilai Obyek Pajak Dasar Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Pada Delapan Desa/Kelurahan di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, tanggal 18 Juli 2018 bertentangan dengan kebijakan pemerintah Jokowi-JK.
Muhammad Achyar, Ketua FORMAMATA dikutip Floreseditrial.com menjelaskan bahwa ,Keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor: 162/KEP/HK/2018 didalam keputusan tersebut menetapkan kenaikan NJOP akan terjadi kontra produktif bahkan bisa dikatakan mengangkangi kebijakan pemerintahan Jokowi-JK.
“Pertama, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) bukannya naik, malah berpotensi turun PAD-nya dari sumber BPHTB dan PBB.Hal ini dikarenakan, wajib pajak bisa saja rame-rame "hold" buat bayar pajak,” tandas Achyar saat ditemui di kantornya di Labuan Bajo, Sabtu, (15/09/).
Selain itu kata Achyar, kebijakan Bupati Dula, sangat bertentangan dengan program pemerintah pusat.
“Karena program 9 juta sertifikat yang dicanangkan oleh pemerintah Jokowi tahun depan bisa tidak tercapai, setidaknya Kabupaten Mabar tidak penuhi target, kata Achyar, saya dilanjutkannya ini disebabkan karena masyarakat urung membuat sertifikat disebabkan pajak yang mahal,kata Achyar, malah bisa jadi setelah SK ini efektif berlaku, ramai-ramai orang akan menarik berkas permohonan dari ATR BPN Mabar,” imbuhnya.
Lebih jauh ketua FORMAMATA itu menilai bahwa NJOP yang diterapkan diberbagai wilayah Kecamatan Komodo itu tidak masuk akal dan tidak proporsional.
“Contoh, di Wae Cicu yang kini telah berdiri hotel mewah seperti hotel Ayana Komodo Resort ,Waecicu Beach, meskipun wilayah tersebut masih sekitar 75% areanya berupa lahan kosong bahkan lebih, kenaikannya amat sangat signifikan hingga 3800% atau 38 kali lipat dari yang tadinya hanya Rp. 27.000 dan saat ini menjadi Rp. 1.032.000, atau terdapat kenaikan sebesar Rp. 1.005.000,” jelasnya.
Berbeda dengan wilayah Wae Cicu, Lanjut Achyar menjelaskan, untuk wilayah Gorontalo atau kawasan sekitar pantai Pede, kenaikannya tidak amat sangat signifikan, sekalipun kenaikannya tetap signifikan yaitu terdapat kenaikan dari NJOP semula yang sebesar Rp. 128.000, menjadi Rp. 1.032.000 atau terdapat kenaikan 800% atau 8 kali lipat.
“Padahal wilayah Gorontalo sendiri termasuk wilayah pariwisata yang cukup padat karena telah dijejali dengan berbagai hotel mewah,” tuturnya.
Menurutnya, akibat kebijakan yang salah itu, dampak terhadap masyarakat kini mulai terasa.
“Banyak keluhan yang masuk kepada saya, beberapa diantaranya dari kalangan emak-emak yang mengeluhkan kenaikan sewa lahan tempat usahanya yang naik signifikan hingga hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, dan dipastikan pemilik lahan akan menaikkan harga sewanya tahun depan, karena kenaikan NJOP ini,” imbuhnya.
Ada pula dari kalangan birokrat sendiri yang mengeluhkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan
“Dimana tahun lalu hanya perlu membayar 3 juta rupiah, tapi dengan adanya SK tersebut mereka harus membayar sebesar 18 juta rupiah, artinya ada kenaikan sebesar 600% atau 6 kali lipat,” jelas pria yang juga berprofesi sebagai Advokat itu.
Lebih jauh dampak besar yang akan dirasakan oleh seluruh masyarakat adalah berdampak terhadap inflasi, “akan terjadi kenaikan harga atas barang dan jasa di kota Labuan Baju khususnya dan Kabupaten Mabar pada umumnya sebagaimana dicontohkan pada pengalaman sewa lahan emak-emak tadi,” tandasnya.
Ketua FORMAMATA itu berharap agar Pemda Mabar bertindak cepat untuk mengatasi persoalan ini, “agar hal-hal yang tidak kita harapkan terjadi sedapat mungkin dapat dicegah sejak dini,”pungkas Achyar. **(Red-88)
Reporter : Louis Mindjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar