Hari ini Minggu (20/5) sore Forum Alumni Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (FAPETISI) mengadakan Diskusi Publik di Guntur 49,Jakarta Pusat. Refleksi 20 Tahun Reformasi setelah lengsernya Soeharto menjadikan bangsa ini tidak menjadi lebih makmur dan sejahtera.
Ungkapan yang disampaikan simpatisan Soeharto lewat meme di media social dengan cover senyuman Smiling Jenderal : Penak dijaman ku toh? Pertanyaan sekaligus ungkapan menjadi kritik sejak era pemerintahan SBY hingga era Jokowi.
Karena kegagalan demi kegagalan pembangunan yang dirasakan masyarakat kecil yang belum beranjak dari keprihatinan hidup, sementara yang kaya makin kaya yang hanya dimiiki segelintir orang yang bermuara pada segelintir etnis. Walaupun sangat kita sadari bahwa justru di era Suharto lah awal budidaya kartel kapitalisme pada sekelompok pemodal pengusaha yang kongkalikong dengan penguasa Orba.
Setidaknya ada 6 poin tuntutan reformasi setelah tumbangnya orde baru, yakni 1). Penegakan Supremasi Hukum, 2). Pemberantasan KKN, 3). Megadili Soeharto dan Kroninya, 4). Amandemen Konstitusi, 5). Pencanutan Dwi Fungsi TNI/POLRI, dan 6). Pemberian Otonomi Daerah Seluas luasnya.
20 Tahun reformasi telah berlalu namun 6 poin tuntutan reformasi yg diharapkan menjadi pemicu perubahan kehidupan berbangsa kearah yang lebih baik, sejahtera dan berkeadilan terasa hanya baru sampai pada jargon-jargon para politisi untuk mendulang suara pada setiap pemilu dan pilkada.
Bukan menjadi Political Will serius setiap pemerintah yg terpilih berkuasa seperti kebijakan dilakukan Mahatir di Malasyia, Lee Kuan Yuew di Singapura, atau perubahan besar yang dilakukan Zhie Ron Jie dan Zhi Jian Pein di China, mereka bisa, pada hal nota benenya kekayaan alamnya tak sekaya dibanding Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apakah penyebabnya karena tidak dimasukkannya poin tuntutan KESEJAHTERAAN KEHIDUPAN RAKYAT YANG LEBIH BERKEADILAN pada tuntutan reformasi? Sehingga kegagalan ini tidak bisa dipungkiri berefek pada tututan masyarakat saat ini, ketidak adilan kesejahteraan melebar menjadi persoalan politik aliran/entitas, apalagi di era pemerintahan Jokowi setelah gagalnya 66 janji janji kampanye yang di muat dalam issu besar, Trisakti dan Nawacita.
Sekarang mayoritas Pribumi/Bumi Putera apalagi umat Islam bulat-bulat merasa di diskriminatif dalam kehidupan berbangsanya.
Reformasi hanya terasa pada makna demokrasi saja yang kadang nyeleneh mejadi democrazy dengan pemilu dan pilkadanya plus pencitraannya, hiruk pikuk HAM, hiruk pikuk KPK bersama korupsirianya, hiruk pikuk kasus terorisme, dan daya massif penyelundupan yang terkesan mejadi import narkoba, demikian pula dengan moralitas karakter yang semakin merosot dikalangan generasi anak bangsa.
Yang paling ditunggu rakyat sebenarnya atas reformasi pada kehidupan mereka yakni perubahan di bidang ekonomi social rakyat, itu pun tidak membawa efek signifikan misalnya pada hubungan kesetaraan antara problem si kaya dan si miskin, sekarang malah cenderung makin melebar, yang mengagetkan kita hasil survey Oxfam yang di release Februari 2017 menunjukkan bahwa harta 4 orang yang terkaya Indonesia setara dengan harta 100 juta orang miskin Indonesia.
Itu linear Pula seperti gambaran dari sumber data Bank Dunia yang memperlihatkan bahwa hanya sekitar 30 persen (30%) orang Indonesia yang benar benar aman dari kemiskinan.
Hal ini tercermin dari tingginya proporsi penduduk dengan kategori rentan miskin (vurnerable) yang mencapai sekitar 40 % dari populasi Indonesia pada tahun 2015. Penduduk berkategori rentan miskin tersebut bisa menjadi miskin sewaktu waktu jika terjadi gejolak ekonomi yang memukul daya beli mereka.
Hadir Ketua Presidium Ikatan Polisi Mitra Masyarakat Indonesia (IPMMI) mengamati perkembangan Reformasi 98. Negara menjadi super liberal, sekuler, dan makin kapitalis-neolib. Apa yag menjadi Kewaspadaan Soekarno terhadap ungkapannya kepada New Imprealism di atas sudah semakin nampak.
Daulat ekonomi demikian pula daulat politik dan kebudayaan sudah berangsur angsur lepas dari kepemilikan ditangan rakyat khususnya kaum pribumi kebanyakan.
Tersingkirnya rakyat akan kepemilikan tanahnya, lautnya, dan sumberdaya alam lainnya, bahkan untuk mereka hidup yakni lapangan pekerjaannya pun sekarang berangsur angsur diambil alih oleh pekerja asing atas nama investasi.
Pemerintah dan alat Negara tidak hadir dalam keseharian kehidupan mereka, bahkan cenderung dikalahkan oleh kepentingan invertasi asing. Ini konsekwensi perubahan UUD 45 termasuk perubahan pasal 33 yang mengatur dan melindungi prikehidupan rakyat secara langsung yang dikuasakan kepada Negara untuk dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Mereka” menelikung melalui amandemen UUD 45, para komprador atas bantuan asing telah berhasil merubah UUD 45 pada tahun 1999-2002 dalam satu rangkaian perubahan dalam 4 tahapan amandemen. **(HSW/Red-34)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar