DNM.com (Jakarta)
Sidang Pidana dengan Terdakwa DR. Alfian Tanjung hari ini Rabu(28/3) pagi dilanjutkan di PN Jakpus, dengan agenda Pemeriksaan Saksi Ahli (a de charge). Terdakwa melalui kuasa hukumnya menghadirkan Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra (YIM) sebagai saksi ahli.
Ahli menyatakan, Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI bagi PKI, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, masih berlaku.
Sanksi hukumnya dapat dijatuhkan berdasarkan amandemen KUHP (UU 27/1999), pasal 107 a-f. Jika ada pihak-pihak, kader ataupun pengurus Parpol tertentu adanya dugaan mempropagandakan atau menghidupkan aliran komunis di Indonesia, maka seharusnya ada sanksi yang tegas dari aparat penegak hukum. Prakteknya saat ini seperti mengapa seperti ada pembiaran dari negara?
YIM mengatakan jika tidak ada sanksi hukum atau langkah konkrit dalam Law Enforcement maka polemik akan terus berlangsung. Suatu Parpol sebagai badan hukum bukanlah merupakan subjek dari suatu tindak Pidana, kecuali jika dituduhkan kepada personal/ pengurusnya.
Menurut YIM berdasarkan Psl 310 ayat (3) KUHP, jika seseorang menyampaikan suatu kebenaran demi kepentingan umum, dan sudah menjadi informasi publik, maka ada hal yang menghapuskan sifat unsur pidananya.
Masalah PKI adalah sensitif, jika ada anggota pengurus Parpol yang dengan bangga atau mempropagandakan aliran PKI kepada publik, yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum, seharusnya ada klarifikasi dan fungsi kontrol dari DPR.
Djudju Purwantoro, salah seorang Kuasa Hukum, yang juga Sekjend IKAMI ( Ikatan Advokat Muslim Indonesia), berpendapat seharusnya semua dakwaan JPU Primer, maupun sekunder kepada kliennya, DR. KH. Alfian Tanjung gugur demi hukum, karena tidak mengandung atau menghapuskan unsur pidananya, seperti yang dituduhkan JPU pada psl 27 (3), psl 28 (2) UU ITE, dan psl 156 KUHP. **(HSW/Red-50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar