DNM.com
Saat ini topik yang sedang ngetren adalah banyak ditangkapnya terduga kasus ujaran kebencian di medsos. Aktivis medsos yang menulis atau kritik kelewat keras tentang pemerintahan yang tengah berlangsung ini, menjadi incaran unit Cyber Mabes Polri.
Tindakan polisi dalam menegakkan hukum mendapat dukungan dari Djudju Purwantoro, yang juga sebagai Sekjend Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI). "Hanya saja pelaksanaannya harus tetap mengedepankan prisip persamaan setiap orang didepan hukum (equality before the law)", dikatakan Djudju usai sidang Duplik Jonru Ginting di PN Jakarta Timur, Rabu (28/2).
"Polisi kami minta tidak begitu mudah menangkap atau menahan terduga sebelum membuktikan postingannya melalui pemeriksaan Ahli digital forensik," kata Djudju.
"Polisi jangan gampang saja memeriksa, menangkap dan atau menahan seseorang dengan dugaan melanggar pasal 28 ayat 2, Jo psl 45A ayat 2, UU ITE No.19/2016, karena ancamannya 6 tahun penjara, dengan alasan sudah memenuhi unsur 2 (dua) alat bukti yang sah.
Menurut Juju, prinsip penegakan hukum haruslah tanpa tebang pilih (diskriminasi), kepada setiap warga negara.
"Ada persepsi dari kalangan masyarakat bahwa pemanggilan, pemeriksaan dan penangkapan kepada para terduga ujaran kebencian hanya menyasar pada masyarakat atau agama tertentu, yaitu golongan Islam dan yang kritis pada pemerintahan saja.
Hal tersebut bisa kontraproduktif dalam penegakkan hukim, sehingga bisa tidak proporsional dan profesional," lanjut Juju.
Ia berharap agar penegak hukum juga bisa secara adil harus menindak pelaku dugaan ujaran kebencian dari kelompok lain. "Ambil contoh terkait kasus Ade Armando dan Victor Laiskodat yang telah dilaporkan oleh berbagai pihak. Namun polisi seakan akan menjadi pura- pura tidak tahu," sindir Djudju.
Apakah sinyalemen yang dikatakan Juju benar,? Pembaca bisa menyaksikan dan menelaah sendiri. **(Red-11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar