Ilustrasi |
Hari
Sumpah Pemuda 28 Oktober 2017
PEMUDA DESA DAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN
Siapa pun tidak bisa disalahkan dan menyalahkan bahwa
kehidupan di kota-kota besar terlihat serba megah dan mengundang hasrat
keinginan orang, terutama anak-anak muda yang ingin hijrah mengadu nasib
hidupnya dengan melakukan urbanisasi dari desa ke kota. Umumnya mereka
anak-anak muda yang tamat sekolah lanjutan atas, apa itu melanjutkan studi atau
mengadu nasib untuk mencari kehidupan baru dengan penuh harapan ada perubahan
lebih baik dari pada kehidupan di desanya.
Sejalan
dengan perkembangan zaman dan perubahan sejarah, akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kehidupan masyarakat kota dan masyarakat desa memang
sangat mencolok atau terjadi kesenjangan yang begitu tajam. D kota-kota besar
misalnya, masyarakat hidup diantara sela-sela gedung megah yang saling berlomba
mencakar langit. Pasar-pasar atau mall plaza yang mewah gemerlapan. Belum lagi
megahnya kantor-kantor pemmerintah, kantor-kantor bisnis seperti bank-bank,
property, dan lain-lain. Jasa hotel-hotel berbintang dan rumah mewah para elite
politisi maupun pejabat pemerintah. Kesemuanya itu mengundang perhatian orang
untuk berbaur hidup berhimpitan disudut-sudut kota tersebut.
Akan tetapi mampuhkah
pemuda-pemuda desa yang melakukan urban atau hijrah ke kota-kota besar itu
dengan ilmu masih sedikit bisa menaklukan kota besar yang penuh ragam tantangan
? mereka umumnya mempunyai jaringan kerabat atau keluarga yang bisa menjadi
tumpuan dan jembatan untuk menggapai cita-citanya.
PERTUMBUHAN
PENDUDUK
Apabila kita melakukan renungan
retrospektif kebelakang dengan situasi dan kondisi tonggak sejarah bersatunya
pemuda-pemuda Indonesia dan berbagai penjuru tanah air seperti dari Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan lain-lain berkumpul
di Jakarta untuk mendeklarasikan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maka sejarah
mencatat bahwa penduduk negeri ini waktu itu baru sekitar 60 Juta Jiwa.
Bersamaan dengan perjuangan dan
perkembangan dunia, kini penduduk Indonesia sedah mencapai berkisar 250 Juta
jiwa menjadi nomor empat setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat.
Kalau kita mau memperhatikan
fakta sejarah bahwa keberadaan kota-kota besar itu dahulu kala didirikan oleh
orang-orang desa yang hijrah ke daerah tersebut, dan lambat laun seiring
perkembangan zaman dan peradaban manusia akhirnya sekarang menjadi kota-kota
besar.
Bagaimanapun tidak mungkin
sebuah kota besar akan membendung kehadiran pemuda-pemuda desa yang melakukan
urbanisasi dari desa, karena fasilitas kehidupan warga kota memiliki kelebihan,
seperti adanya Perguruan Tinggi dan sebagainya.
Sebagaimana diproyeksikan oleh
DAC (Development Assintance Committe ) Perserikatan Bangsa-bangsa bahwa akibat
kondisi kemiskinan terutama di negara selatan-selatan atau negara sedang
membangun maka arus urbanisasi penduduk menurut DAC proyeksi antara tahun 2000
– 2020 terdapat sekitar 500 juta jiwa angkatan kerja di negara-negara
berkembang akan semakin meningkat antara tahun 2015 – 2025.
Menurut data Bank Dunia (World
Bank) di Tahun 1950 hanya satu kota yang berpenduduk 5 juta jiwa. Tapi di tahun
2000 – 2020 menjadi 40 Kota besar. Diantaranya 12 kota besar di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Kanada, Italia, Jerman,
Jepang, Rusia,Tiongkok rata-rata berpenduduk 12 Juta Jiwa. Kemudian yang 28
Kota-Kota besar lagi terdapat di negara-negara berkembang dengan rata-rata
berpenduduk 10 juta jiwa.
Dengan proyeksi gambaran
tersebut, maka pembangunan Perkotaan Masa Depan termasuk Indonesia harus
diperhitungan melalui master plan yang relevansinya mampu “menampung” penduduk
baru yang secara simultan setuju atau tidak, akan terjadi urbanisasi. Tepatlah
kiranya, jika pemerintah Indonesia telah meempunyai Menteri Desa dengan program
pembangunan desa yang dilandassi Undang-Undang Dasar 1945 dan Unang-Undang Desa
Nomor 6 tahun 2015.
Salah satu tujuannya
mempercepat laju pembangunan desa dengan sendirinya mengurangi arus urbanisasi,
jika di desa-desa dimaksud telah memiliki fasilitas hidup yang memadai bagi
kebutuhan warganya disemua sektor kehidupan. Animo para pemuda desa untuk
hijrah ke kota bisa dimanfaatkan dengan kemampuan skill yang ada dan sebagian dapat
hidup di desa, tentu saja didukung sarana yang harus ada didesanya.
KONDISI
RUANG PUBLIK
Presdieb Joko Widodo dalam
kesempatan Peringatan Hari Habitat Dunia di Istana Negara Jakarta, Selasa 6
Oktober 2015 antara lain menyatakan kondisi ruang publik di suatu kawasan akan
mempengaruhi kualitas masyarakatnya dan manusia yang hdup dikawasan tersebut.
Membangun ruang publik yang berkualitas sama artinya membangun manusia yang
hidupnya berkualitas (Harian Analisa, Rabu 7 Oktober 2015)
Pesan semacam itu berlaku untuk
masyarakat yang tinggal di kota maupun di desa. Masyarakat yang hidup di kota
apabila suasana gersang dan hanya tembok-tembok tinggi yang menyelemuti tanpa
ruang publik yang segar, hijau, bersih dan berwawasan lingkungan, tentu
berpengaruh buruk terhadap perilaku serta kualitas manusianya.
Sebaliknya demikian pula dengan
masyarakat yang hidup dipedesaan. Apabila di desa kurang fasilitas sarana
kehidupan misalnya sekolah terbatas, tidak ada Perguruan Tinggi, tinggal di
perbukitan yang sewaktu-waktu tertimbun longsor akibat hutan diatasnya tidak
ada lagi alias gundul. Anak-anak SD pergi dan pulang sekolah 3 km jalan kaki
menyeberang sungai melalui jembatan gantung yang tinggal tali bajaa gantungan saja
akibat papannya sudah copot berhilangan. Otomatis kondisi ruang publik seperti
itu mempengaruhi pola hidup dan kualitas intelegen manusianya.
Sejalan dengan pemikiran diatas
bahwa dahulu terdapat alun-alun di desa dan ruang terbuka untuk musyawarah
warga desa. Tapi sekarang sudah langka, walau belum hilang sama sekali. Di Kota
pun sudah mulai dihijaukan dengan tumbuhan, taman-taman, seperti di Jakarta,
waduk-waduk dari zaman Belanda yang terlantar mulai dibangun kembali untuk
dijadikan obyek wisata-wisata selain berfungsi penyimpanan air.
Sebagai negara agraris,
Indonesia tentu mayoritas penduduknya petani, namun petani di desa lahannya itu
ke itu saja sampai anak-anak menjadi besar. Tentu saja tidak cukup menghidupi
kebutuhan suatu keluarga mereka.
Menurut data LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) yang baru mengadakan penelitian di lapangan tentang
Program Ketahanan Pangan termasuk Sosial – Ekonomi dan Budaya untuk tahun
2015-2019 mendapat kesimpulan bahwa pemudaa desa banyak tak mau jadi petani dan
tinggal di desa. Mereka memilih Urbanisasi ke kota dengan tujuan mencari
kehidupan lain, yang berbeda dari desanya.
Peneliti LIPI YB Widodo dalam
diskusi bertajuk “Modernisasi dan Krisis Regenerasi Petani” di Media Center di
Gedung LIPI Jl. Gatot Suubroto Jakarta, Jum’at 9 Oktober 2015, menyimpulkan
bahwa pemudaa-pemuda desa kurang berminat untuk meneruskan mengolah lahan
pertanian di desa mereka sejak dahulu itu ke itu saja dan dirinya telah
dibekali pola pikir modern. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik bahwa
infrastruktur ekonomi sebagian besar desa-desa di Inndonesia variabel nya masih
rendah sesuai IPD (Indeks Pembangunan Desa) tahun 2014 (Harian Analisa, Rabu,
21 Oktober 2015).
Tidak semua generasi muda desa
mewarisi sistem pertanian dari orang tuanya. Sebaliknya keluarga petani di desa
umumya berharap agar putera-puterinya bisa berkehidupan yang lebih baik dari
orangtuanya.
Dengan demikian, kesimpulannya
bahwa selain membangun desa yang maju, namun sejalan perkembangan zaman masalah
pembangunan perkotaan harus disesuaikan dengan Tata Ruang Global yang mampu
memelihara keseimbangan penduduk yang terus tumbuh anatar Kota Masa Depan dan
Desa secara signifikan dan berkelanjutan kawasan lingkungan sehingga tidak
terjadi benturan paradoxal bahkan justru hidup harmonis.(*)
Penulis : Ebiet Prayugo Radityo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar