Agama dan Politik Tak Dapat Dipisahkan
(DNM)
Belakangan terakhir ini muncul beragam polemik dari situasi perpolitikan nasional yang semakin hari kian memanas jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua, sehingga banyak tokoh-tokoh politik dan tokoh agama melibatkan diri dalam situasi tersebut, dan itu juga berdampak pada semua aspek, baik itu suku, agama dan ras.
Perlu kembali kita mengingat sejarah perjuangan para pejuang dalam merebut kemerdekaan republik indonesia, mereka selalu menempatkan gerakan politik dalam setiap keyakinan dan agamanya masing-masing, tak jarang juga kita dapat menemukan berbagai perbedaan politik namun tidak mengurangi nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa indonesia.
Fakta sejarah bangsa menunjukkan bahwa NKRI didirikan oleh proklamator dan para pejuang kemerdekaan yang semuanya penganut agama, terutama muslim, bukan ateis apalagi komunis. Rumusan Pancasila yang kemudian ditetapkan sebagai dasar bernegara dan ideologi bangsa jelas mencerminkan ajaran agama dalam semua silanya.
Meskipun NKRI bukan negara agama tertentu dan juga bukan negara sekuler, tapi karena mayoritas penduduknya beragama Islam dan beragama lainnya yang diakui oleh negara. Jadi, eksistensi agama dalam NKRI menjadi catatan sejarah panjang bangsa ini.
Imam al-Ghazali pernah mengatakan, ”ad-Din wa as-siyasah tauaman ” (Agama dan politik itu bagaikan dua saudara kembar). Agama (Islam) memang tidak dapat dipisahkan dari (kehidupan) politik. Keduanya saling mengisi dan berbagi fungsi.
Agama hadir untuk mengawal dan menjaga politik dari aneka penyimpangan dan penyelewengan karena syahwat politik dan kekuasaan cenderung menghalalkan segala cara, sedangkan politik diperlukan untuk memfasilitasi ekspresi dan aktualisasi kehidupan beragama para penganutnya. Oleh karena itu, pemisahan agama dari politik atau pemisahan politik dari agama bagi warga bangsa ini merupakan pemikiran sekuler yang bebas nilai.
Politik dan agama selalu berkaitan walaupun Masing-masing dapat memainkan peran dan fungsinya tapi secara harmoni, saling mengisi, dan melengkapi secara proporsional, tidak saling konfrontasi dan tidak dalam relasi antagonistis dan kontraproduktif. Jika salah satu dipisahkan, maka jalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini akan pincang.
Seperti diambil dari kutipan tulisan Dosen Pascasarjana UIN dan UMJ Muhbib Abdul Habib mengatakan "Kalaupun dalam proses politik seperti pilpres dan pilkada terjadi dinamika sosial-politik dengan tensi yang tinggi dan cenderung memanas, maka sesungguhnya bukan agama atau politik yang harus dipisahkan. ”Gesekan, intrik, atau perang” jargon agama dalam proses politik harus disikapi secara arif dan bijaksana."
Untuk itu Masing-masing pihak harus mampu menahan diri untuk tidak memperalat atau menjadikan agama sebagai pembenar agenda politiknya, apalagi digunakan secara membabi buta dan praktik politik kotor. Hawa nafsu atau syahwat berkuasa hendaknya tidak ”memerkosa” agama hanya untuk kepentingan politik sesaat. Agama harus diposisikan sebagai penerang, pencerah, dan pemandu jalannya perpolitikan yang santun, elegan, dan berakhlak mulia.
Ebiet Prayugo Radityo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar